Raibow Education Japan

RAINBOW EDUCATIONAL IN JEPANG

oleh Ida Saidah

           

Ketika mendapat informasi bahwa Next akan ke Jepang untuk melakukan study banding, saya langsung menelpon Mbak Frenda untuk mendaftar sebagai peserta. Walau tahu biaya keberangkatan sangat menguras isi kantong, tapi karena Jepang adalah salah satu negara impian saya sedari kecil maka persiapan budgeting enam bulan sebelumnya saya lakukan.  Dengan jurus banting tulang sana sini dan luapan do’a  yang diiringi tetesan embun (lebay.com) di setiap shalat, agar Alloh SWT meridhoi keinginan saya berangkat ke Jepang dan memudahkan pengumpulan budgeting.  Alhamdulillah tepat tanggal 8 Juni saya dapat terbang menuju Jepang yang transit terlebih dahulu di Kuala Lumpur.

           

Kalau banyak kata orang dan juga hasil penelitian  oleh ‘Organisation for Economic Co-operation and Development’ (OECD) dengan program unggulannya Programme for International Student Assessment (PISA), sebagai lembaga peneliti internasional, pada tahun 2006 – 2007 mempublikasikan urutan kualitas negara-negara di dunia dilihat dari Kualitas Kompetensi “Match, Reading, Science dan Problem Solving”* yang hasil singkatnya menyatakan bahwa negara Jepang ada dalam urutan negara negara di urutan skor tertinggi, setelah melihat sendiri bagaimana konsep pendidikan  yang dijalankan, maka saya yakini bahwa pendapat itu  adalah benar adanya. 

           

Bagaimana tidak,  Pemerintah Jepang memberlakukan peraturan melarang warganya untuk tidak membawa kendaraan roda empat ketika menuntut ilmu dari tingkat Play Group sampai S2, dan hanya membolehkan menggunakan sepeda, train, bus atau jalan kaki.  Sungguh membuat decak kagum saya, hal yang menurut sebagian banyak orang termasuk “hak azazi’ tapi Jepang dengan mudah mensosialisasikannya kepada warganya. Kebayang  kalau saya membuat peraturan di lingkup yang lebih kecil yaitu lingkungan sekolah saya, yang melarang para orang tua mengantar anaknya ke sekolah menggunakan kendaraan roda empat, maka sudah terasa sebelumnya akan banyak protes yang bermunculan dari para orang tua.  Dari satu hal tentang peraturan melarang membawa kendaraan pribadi ketika menuntut ilmu, saya sudah dapat membaca apa nilai yang akan disampaikan oleh pemerintah Jepang kepada warganya. Ada nilai kesehatan, dengan banyak berjalan kaki atau bersepeda maka dengan sendirinya mengolah raga, dan mengolah jiwa, ini termasuk salah satu pembentukan karakter. Ingat slogan ‘Man Sana In Corpore Sano’ (ah betul tidak ya nulisnya – tak  apalah  yang penting artinya benar nee yaitu dalam badan yang sehat terdapat jiwa yang kuat).  Karena mereka rajin berolah raga maka di jalan-jalan atau di tempat-tempat umum, saya jarang melihat orang Jepang itu gapuk-gapuk alias gemuk-gemuk, yang ada kurus, standar dan enak dilihat karena proporsional antara tinggi badan dan berat badan.

           

Hal menarik lain dalam melihat konsep pendidikan di negara Jepang adalah bahwa dari sekolah-sekolah yang kita kunjungi diantaranya adalah Shitennougi Gakuen High School – Osaka, lalu Nagoya University – Nagoya, lalu Ogawa Elementary School – Chita dan Musashino Joshi Gakuen School – Tokyo. Semuanya berlandaskan bahwa Pendidikan Karakter alias pendidikan nilai-nilai budaya Jepang adalah hal utama yang harus diberikan dalam kurikulum sekolah.  Mereka tidak mengutamakan pendidikan Kognitif, mereka lebih mengutamakan pendidikan Life skill, lebih mengedepankan pemberian ilmu yang sifatnya siap dalam menghadapi tantangan hidup. 

Dapat saya berikan data yaitu ketika kunjungan ke Ogawa Elementary School, sekolah yang menyatakan dirinya sekolah dengan sistem Open School sejak 1978.  Disana saya melihat untuk mata pelajaran bahasa inggris saja diberikan di kelas 4 untuk pengenalan. Sekolah tanpa batas ruang antar kelas ini , lebih mengapresiasi keberadaan anak dengan lingkungannya, makanya sekolah ini menjadi sekolah yang terpilih oleh Unesco menjadi Sekolah Lingkungan Tingkat Dunia.  Disana saya melihat anak diberikan kurikulum belajar naik sepeda, belajar berkarya dengan membuat sesuatu dari kayu, tampak difasilitasi perbengkelannya; ada anak yang belajar menggergaji, memotong kayu, memaku dan sebagainya.  Di sana saya juga dapat melihat sekolah mengapresiasi hasil karya anak dengan menjadikannya sebagai Display Sekolah.  Tidak ada ruang yang tidak berdisplay.  Disana pula difasilitasi anak belajar musik. Ada ruang bermusik, ada ruang theatre. Ah ada banyak hal yang saya ingin tiru dari sekolah ini.  Oh ya ada yang menarik dari kunjungan ke Ogawa Elementary School ini, yaitu adanya liputan oleh TV dan koran lokal. Dan memang terbukti ketika sudah sampai di Indonesia, beritanya tersampaikan  via email oleh Prof. Muna bahwa kita masuk Koran Chunichi, mereka mendisplay banyak foto-foto kegiatan kunjungan kita di Ogawa Elementary School ini, dan saya termasuk yang paling berbahagia karena foto saya masuk dalam koran itu secara eksklusif (haha narsis)…….memang benar kok, karena kalau yang lain difoto rombongan, sementara saya dan Bu Nissa hanya berdua saja, difoto bersama siswa-siswi Ogawa Elementary School. 

Saya sangat tertarik pada hal-hal yang bernilai Karakter, makanya sekolah saya , diberi slogan sekolah berkarakter.  Untuk hal ini saya menemukan sesuatu yang unik tentang karakter di Musashino Joshi Gakuen School.  Gurunya mengatakan di sekolah ini diberikan pembelajaran Kaligrafi Huruf Kanji, Bermusik dan Menjahit sebagai Pendidikan Karakter buat siswi-siswinya. Apa Uniknya yaah ?. Bagi saya unik, selama ini pendidikan karakter yang sekolah saya lakukan adalah adanya materi yang disampaikan lewat berbagai media, audiovisual, sosiodrama, cerita, dll. Sedangkan yang sifatnya menjahit atau ketrampilan kaligrafi itu hanya dimasukkan ke Unit Activity yang tidak mewajibkan semua siswa mengikutinya.  Tapi di Musashino ini karakter diberikan untuk semua siswi dan karakter itu diberikan  sangat aplikatif dalam sebuah karya.  Dalam mengerjakan karya tersebut ada nilai-nilai yang ingin dibiasakan ke siswi yaitu anak dibiasakan terampil, sabar, teliti, mengolah rasa dan lain-lain.  Ah, saya dapat pengayaan ilmu lagi dari Jepang ini.

           

Tiap sekolah yang saya lihat, selalu ada nilai plus yang saya temui, contohnya di Shitennougi Gakuen High School.  Ketika masuk ke ruangan Lab science, saya melihat murid-murid begitu kreatif dalam membuat resume pembelajaran. Ada yang membuatnya dengan aneka warna tulisan, aneka mind map dan lain-lain. Dan yang membuat saya tertarik adalah mereka membuatnya dalam satu lembar kertas hvs bukan di buku tulis. Pada saat itu saya bertanya dalam hati apakah yang mereka buat tidak akan tercecer, karena ilmu yang mereka dapatkan dan mereka buat berbentuk lembaran, bagaimana mereka akan mengulang pembelajaran kalau akan menghadapi ujian. Berdecak kagum ketika saya bertanya pada kepala sekolahnya dan mendapat penjelasan bahwa mereka sudah mendisiplan diri untuk menjadikan lembaran-lembaran itu di satu file map.  Sudah dapat saya bayangkan mereka akan bersemangat untuk mengulang pembelajaran dengan membaca hasil karya mereka sendiri yang dibuat dengan penuh warna dan imajinasi mereka di lembaran yang luas ukuran kertasnya, mereka melihat display pembelajaran yang mereka buat sendiri… hmmm bagaimana dengan siswa-siswa bangsaku yaa… kalau pembelajaran mereka tulis dilembaran hvs, tentu akan menjadi lembaran-lembaran yang tercecer. Aahh Jepang sudah memberiku satu inspiratif lagi bagaimana mengajari anak-anak kreatif dalam belajar dengan membuat display yang mereka buat sendiri. Jepang sudah mengajarkan anak-anaknya untuk menggunakan otak reptilnya dalam mengambil pembelajaran.  Yang kaya begini lah yang harus ditiru oleh sekolahku.  Meniru untuk sesuatu yang baik saya pikir tidak melanggar hukumkan ?

Artikel Terkait