Start Up
Selama ini saya sangat penasaran, darimana bukalapak, tokopedia dan gojek mendapatkan revenue. Ada yg bilang mereka main di big data. Tapi tetap saja tdk jelas, bgmn big data bisa berkonversi menjadi revenue. Saya sudah
berusaha mencerna setiap info ttg bisnis start up. Namum sayangnya sampai saat ini tetap tidak mengerti dari mana revenuenya.
Tulisan di bawah ini agak mewakili pertanyaan2 saya.
berusaha mencerna setiap info ttg bisnis start up. Namum sayangnya sampai saat ini tetap tidak mengerti dari mana revenuenya.
Tulisan di bawah ini agak mewakili pertanyaan2 saya.
Fatamorgana Startup Indonesia
Mengapa startup yang populer di Indonesia strateginya hanya bakar-bakar uang? Lalu ketika ditanya bagaimana cara mereka mengembalikan uang investor, jawabannya nanti kalo startup mereka masuk bursa. Ketika masyarakat Indonesia rame-rame beli saham mereka, maka pada saat itulah investor mendapatkan untung. Tidak peduli cashflow perusahaan tidak sehat, yang penting siapa cepat dia dapat. Lalu apa bedanya dengan demam batu akik, demam anturium, dan demam-demam lainnya? Cepat atau lambat harga saham mereka pasti akan turun, lalu meranalah mereka yang beli sahamnya belakangan.
Tokopedia, Bukalapak dan Gojek mungkin tiga online start up yang paling banyak dibicarakan dalam 3 tahun terkakhir, dalam jagat e-commerce tanah air. Tiga startup itu digadang-gadang bisa menjadi ikon digital economy masa depan Indonesia. Namun Tokopedia, Bukalapak dan Gojek juga mengabarkan pelajaran amat berharga tentang valuasi dan cash flow. Dan tiba-tiba kita ingat papatah indah ini : profit is queen, cash flow is king.
Tokopedia mungkin yang paling moncer. Dua kali Toped mendapatkan pendanaan dari venture capital, masing-masing senilai sekitar 1 triliun. Jadi total sudah 2 triliun disuntikkan sebaga pendanaan. Jika dana 2 triliun itu dikonversikan menjadi 50% saham, maka valuasi total Tokopedia menjadi sekitar Rp 4 triliun. Jumlah yang fenomenal untuk sebuah start up yang masih muda usianya.
Venture capital kita tahu adalah sekelompok pemodal yang rajin invest ke start up potensial. Harapannya, mereka bisa mendapatkan profit, jika kelak start up di go public dengan valuasi yang lebih fenomenal. Di Indonesia sekarang ada sekitar 30-an venture capital. Ada yang lokal seperti grup Djarum yang invest ke BliBli serta Kaskus; dan Idesource yang tahun lalu invest 300 milyar ke Bhineka. Ada juga yang asing seperti East Ventures dan Softbank yang invest ke Tokopedia.
Valuasi Tokopedia yang sekitar Rp 4 triliun artinya mendekati julukan sebagai “UNICORN”. Unicorn adalah sebutan bagi start up yang nilai valuasinya tembus Rp 10 triliun. Diharapkan Tokopedia dan Bukalapak atau Gojek menjadi startup pioner Indonesia yang menjadi Unicorn.
Bulan lalu, Bukalapak juga mendapatkan pendanaan baru senilai Rp 500 milyar yang dikonversikan menjadi 35 % saham. Informasi ini tidak terbuka untuk media, saya mendapatkan dari sumber yang layak dipercaya. Artinya, valuasi Bukalapak senilai 1,5 triliun. Amazing.
Intinya baik Tokopedia, Bukalapak atau Gojek sudah mendapatkan guyuran dana dari venture capital sebesar ratusan milyar bahkan triliunan. Semuanya dengan valuasi yang rasanya fantastik untuk ukuran bisnis tradisional. Nah, sekarang berapa cash flow mereka? Minus atau positif? Cash flow, kita tahu, ukuran yang lebih simpel dan powerful untuk menilai kesehatan keuangan perusahaan. Cash flow is king.
Aturannya sederhana : jika uang masuk lebih besar daripada pengeluaran, Anda oke. Sebaliknya, jika pengeluaran lebih gede daripada pengeluaran, ya Anda defisit. Kalau kelamaan defisitnya, ya kolaps. Semaput.
Model bisnis Bukalapak hanya mendapatkan pemasukan dari semacam iklan para member-nya. Dan juga selisih uang yang dibayarkan oleh pembeli – nilianya hanya ribuan rupiah. Dari informasi yang ada, maka estimasi pemasukan Bukalapak dengan model bisnis seperti ini hanya Rp 1 milyar per bulan. Pengeluarannya? Dengan karyawan 150++ orang dan biaya iklan yang gencar, estimasi pengeluarannya bisa tembus Rp 2 – 3 milyar per bulan. Artinya desifit 1- 2 milyaran per bulan. Dari mana defisit ini ditutup? Ya dari uang investor tadi.
Tokopedia mendapatkan pemasukan dari fee premium member (Gold merchant) dan juga iklan para membernya. Pemasukan Toped mungkin lebih besar daripada Bukalapak, namun biaya pasti juga lebih besar. Lihat saja iklannya ada dimana-mana. Budgetnya pasti puluhan milyar. Dengan kata lain, posisi keuangan Toped sekarang juga masih minus. Cashflow-nya belum positif. Angka kasar defisitnya bisa 2 – 4 milyar per bulan.
Baik Toped dan Bukalapak sama sekali tidak mengenakan biaya transaksi para penjualnya. Jadi berapapun besarnya transaksi ini, maka tidak ada dampak signifikan bagi pemasukan mereka berdua.
Kasus Gojek juga sama. Pemasukan masih lebih sedikit dibanding pengeluaran. Alias defisit. Maka mereka sekarang juga agak megap-megap, memburu pendanaan baru. Sebab pendanaan lama, uangnya sudah habis dibakar di jalanan. Burning rate. Ini istilah kecepatan startup dalam “membakar” dana investor. Harapannya, dengan jor-joran membuang uang untuk iklan dan ekspansi, maka pertumbuhan akan melesat. Pertumbuhan dalam aspek pelanggan, nilai transaksi, atau pangsa pasar.
Jadi prinsipnya : growth, growth, growth. Meski prinsip ini harus menghabiskan ratusan milyar. Growth dianggap lebih magis daparipada sekedar profit. Harapannya, dengan growth yang super fantastik, kelak pembakaran uang saat ini akan impas, dan berganti menjadi profit.
Namun harus hati-hati juga. Terlalu agresif membakar uang, maka bekal dana investor keburu habis, sebelum profit datang. Gojek sudah menunjukkan gejala ini. Jalan Gojek memang terjal, sebab mereka berhadapan dengan Grab Bike yang sialnya, juga punya amunisi modal yang masif. Grab Bike dari Malaysia dengan pendanaan triliunan juga. Dan mereka siap perang.
Toped dan Bukalapak, sebentar lagi akan menghadapi jalan terjal juga. Lazada Indonesia sudah dicaplok raksasa Alibaba, dengan modal uang yang tak punya lagi nomer seri. Valuasi Tokopedia dan Bukalapak yang tembus triliunan, berasumsi bahwa pertumbuhan pemasukan mereka bisa tembus 20 kali lipat (atau 2000 persen) dalam 3 tahun ke depan. Pemasukan ya, bukan jumlah transaksi dan jumlah merchant yang bergabung. Apakah bisa pemasukan cash flow mereka melesat 20 kali lipat dalam 3 tahun ke depan? Mudah-mudahan bisa. Sebab hanya dengan itu, maka valuasi mereka menjadi masuk akal dan justified.
Jika tidak bisa, investor bisa terjebak dalam “financial exuberance trap” – jebakan karena dipicu oleh euforia dan optimisme berlebihan terhadap nilai masa depan. Jebakan ini sama dengan ketika orang kesurupan batu akik atau bunga anthurium. Cuma bedanya, kali ini obyeknya adalah Toped, Bukalapak dan Gojek.
Financial exuberance trap bisa menimpa siapa saja : entah Anda spekulan saham, venture capitals yang berkantor di London, atau pedagang batu akik di pinggiran jalan. Sebab “irasionalitas finansial” itu tidak kenal kasta, latar pendidikan atau golongan sosial. Semua orang bisa terjebak dalam kebodohan kolektif saat terjebak dalam keserakahan finansial.
Tidak adakah anak bangsa ini yg bisa membuat startup yg riil menghasilkan uang dari produk atau layanan yg mereka berikan?
Sumber : Strategi Manajemen
Tokopedia, Bukalapak dan Gojek mungkin tiga online start up yang paling banyak dibicarakan dalam 3 tahun terkakhir, dalam jagat e-commerce tanah air. Tiga startup itu digadang-gadang bisa menjadi ikon digital economy masa depan Indonesia. Namun Tokopedia, Bukalapak dan Gojek juga mengabarkan pelajaran amat berharga tentang valuasi dan cash flow. Dan tiba-tiba kita ingat papatah indah ini : profit is queen, cash flow is king.
Tokopedia mungkin yang paling moncer. Dua kali Toped mendapatkan pendanaan dari venture capital, masing-masing senilai sekitar 1 triliun. Jadi total sudah 2 triliun disuntikkan sebaga pendanaan. Jika dana 2 triliun itu dikonversikan menjadi 50% saham, maka valuasi total Tokopedia menjadi sekitar Rp 4 triliun. Jumlah yang fenomenal untuk sebuah start up yang masih muda usianya.
Venture capital kita tahu adalah sekelompok pemodal yang rajin invest ke start up potensial. Harapannya, mereka bisa mendapatkan profit, jika kelak start up di go public dengan valuasi yang lebih fenomenal. Di Indonesia sekarang ada sekitar 30-an venture capital. Ada yang lokal seperti grup Djarum yang invest ke BliBli serta Kaskus; dan Idesource yang tahun lalu invest 300 milyar ke Bhineka. Ada juga yang asing seperti East Ventures dan Softbank yang invest ke Tokopedia.
Valuasi Tokopedia yang sekitar Rp 4 triliun artinya mendekati julukan sebagai “UNICORN”. Unicorn adalah sebutan bagi start up yang nilai valuasinya tembus Rp 10 triliun. Diharapkan Tokopedia dan Bukalapak atau Gojek menjadi startup pioner Indonesia yang menjadi Unicorn.
Bulan lalu, Bukalapak juga mendapatkan pendanaan baru senilai Rp 500 milyar yang dikonversikan menjadi 35 % saham. Informasi ini tidak terbuka untuk media, saya mendapatkan dari sumber yang layak dipercaya. Artinya, valuasi Bukalapak senilai 1,5 triliun. Amazing.
Intinya baik Tokopedia, Bukalapak atau Gojek sudah mendapatkan guyuran dana dari venture capital sebesar ratusan milyar bahkan triliunan. Semuanya dengan valuasi yang rasanya fantastik untuk ukuran bisnis tradisional. Nah, sekarang berapa cash flow mereka? Minus atau positif? Cash flow, kita tahu, ukuran yang lebih simpel dan powerful untuk menilai kesehatan keuangan perusahaan. Cash flow is king.
Aturannya sederhana : jika uang masuk lebih besar daripada pengeluaran, Anda oke. Sebaliknya, jika pengeluaran lebih gede daripada pengeluaran, ya Anda defisit. Kalau kelamaan defisitnya, ya kolaps. Semaput.
Model bisnis Bukalapak hanya mendapatkan pemasukan dari semacam iklan para member-nya. Dan juga selisih uang yang dibayarkan oleh pembeli – nilianya hanya ribuan rupiah. Dari informasi yang ada, maka estimasi pemasukan Bukalapak dengan model bisnis seperti ini hanya Rp 1 milyar per bulan. Pengeluarannya? Dengan karyawan 150++ orang dan biaya iklan yang gencar, estimasi pengeluarannya bisa tembus Rp 2 – 3 milyar per bulan. Artinya desifit 1- 2 milyaran per bulan. Dari mana defisit ini ditutup? Ya dari uang investor tadi.
Tokopedia mendapatkan pemasukan dari fee premium member (Gold merchant) dan juga iklan para membernya. Pemasukan Toped mungkin lebih besar daripada Bukalapak, namun biaya pasti juga lebih besar. Lihat saja iklannya ada dimana-mana. Budgetnya pasti puluhan milyar. Dengan kata lain, posisi keuangan Toped sekarang juga masih minus. Cashflow-nya belum positif. Angka kasar defisitnya bisa 2 – 4 milyar per bulan.
Baik Toped dan Bukalapak sama sekali tidak mengenakan biaya transaksi para penjualnya. Jadi berapapun besarnya transaksi ini, maka tidak ada dampak signifikan bagi pemasukan mereka berdua.
Kasus Gojek juga sama. Pemasukan masih lebih sedikit dibanding pengeluaran. Alias defisit. Maka mereka sekarang juga agak megap-megap, memburu pendanaan baru. Sebab pendanaan lama, uangnya sudah habis dibakar di jalanan. Burning rate. Ini istilah kecepatan startup dalam “membakar” dana investor. Harapannya, dengan jor-joran membuang uang untuk iklan dan ekspansi, maka pertumbuhan akan melesat. Pertumbuhan dalam aspek pelanggan, nilai transaksi, atau pangsa pasar.
Jadi prinsipnya : growth, growth, growth. Meski prinsip ini harus menghabiskan ratusan milyar. Growth dianggap lebih magis daparipada sekedar profit. Harapannya, dengan growth yang super fantastik, kelak pembakaran uang saat ini akan impas, dan berganti menjadi profit.
Namun harus hati-hati juga. Terlalu agresif membakar uang, maka bekal dana investor keburu habis, sebelum profit datang. Gojek sudah menunjukkan gejala ini. Jalan Gojek memang terjal, sebab mereka berhadapan dengan Grab Bike yang sialnya, juga punya amunisi modal yang masif. Grab Bike dari Malaysia dengan pendanaan triliunan juga. Dan mereka siap perang.
Toped dan Bukalapak, sebentar lagi akan menghadapi jalan terjal juga. Lazada Indonesia sudah dicaplok raksasa Alibaba, dengan modal uang yang tak punya lagi nomer seri. Valuasi Tokopedia dan Bukalapak yang tembus triliunan, berasumsi bahwa pertumbuhan pemasukan mereka bisa tembus 20 kali lipat (atau 2000 persen) dalam 3 tahun ke depan. Pemasukan ya, bukan jumlah transaksi dan jumlah merchant yang bergabung. Apakah bisa pemasukan cash flow mereka melesat 20 kali lipat dalam 3 tahun ke depan? Mudah-mudahan bisa. Sebab hanya dengan itu, maka valuasi mereka menjadi masuk akal dan justified.
Jika tidak bisa, investor bisa terjebak dalam “financial exuberance trap” – jebakan karena dipicu oleh euforia dan optimisme berlebihan terhadap nilai masa depan. Jebakan ini sama dengan ketika orang kesurupan batu akik atau bunga anthurium. Cuma bedanya, kali ini obyeknya adalah Toped, Bukalapak dan Gojek.
Financial exuberance trap bisa menimpa siapa saja : entah Anda spekulan saham, venture capitals yang berkantor di London, atau pedagang batu akik di pinggiran jalan. Sebab “irasionalitas finansial” itu tidak kenal kasta, latar pendidikan atau golongan sosial. Semua orang bisa terjebak dalam kebodohan kolektif saat terjebak dalam keserakahan finansial.
Tidak adakah anak bangsa ini yg bisa membuat startup yg riil menghasilkan uang dari produk atau layanan yg mereka berikan?
Sumber : Strategi Manajemen