21. Saya Tidak Jadi ke Bratislava
Sejauh ini saya sudah mengunjungi enam negara, mulai dari Perancis, Spanyol, Finlandia, Estonia, Hongaria dan Austria. Hari ini saya akan leave Wina menuju Praha, Ceko. Kunjungan ke Estonia adalah di luar rencana karena Tallin ibu kotanya sangat dekat dari Helsinki, hanya dua jam perjalanan menyeberang dengan feri yang di mata saya bukanlah feri, tapi sudah cruise karena begitu mewahnya. Sekarang ada peluang untuk tambah negara lagi karena Slowakia juga sangat dekat dengan Austria. Bratislava ibukota Slowakia hanya satu jam perjalanan dari Wina sehingga bisa dijangkau pulang pergi tanpa menginap.
Tapi itulah masalah klasik yang sudah saya duga sejak di Indonesia. Travelling di Eropa tidak bisa tanpa rencana atau pakai prinsip kumaha engke. Masalahnya penginapan harus dibook jauh-jauh hari karena kalau tidak akan susah cari penginapan dan dapat harga mahal karena datang on the spot. Jadi kita harus sudah menentukan mau berapa hari akan stay di sebuah kota saat booking. Padahal bisa saja kota yang kita kunjungi sangat menarik tapi staynya singkat atau sebaliknya, kotanya membosankan tapi staynya lama. Jadi dari awal saya sudah harus mereka-reka mau tinggal berapa lama di sebuah kota. Sebagai contoh Wina saya setting dua malam sedangkan Berlin saya setting tiga malam.
Sekarang jadual saya meninggalkan Wina dengan godaan mampir dulu ke Bratislava sebelum ke Praha. Tapi ini agak rumit tidak seperti saat ke Estonia dari Helsinki. Kali ini saya harus cek out dulu dengan dua koper saya dan istri, belum lagi kami masing-masing juga menyandang ransel. Koper dan ransel harus dibawa ke mana-mana. Mana mungkin jalan-jalan di Bratislava dengan menggotong-gotong koper. Mungkin ada yang saran titip di stasiun. Pengalaman saya di Amsterdam memang ada penitipan koper. Tapi saya kurang yakin apakah juga ada di Bratislava. Pokoknya ribetlah kalau maksain diri ke Bratislava juga.
Akhirnya saya menghibur diri. Jadi orang jangan rakus. Sudah dapat ekstra ke Estonia saja di luar rencana, itu sudah sebuah syukur yang tidak terkira. Oleh karena itu saya tidak jadi ke Bratislava.
Tapi itulah masalah klasik yang sudah saya duga sejak di Indonesia. Travelling di Eropa tidak bisa tanpa rencana atau pakai prinsip kumaha engke. Masalahnya penginapan harus dibook jauh-jauh hari karena kalau tidak akan susah cari penginapan dan dapat harga mahal karena datang on the spot. Jadi kita harus sudah menentukan mau berapa hari akan stay di sebuah kota saat booking. Padahal bisa saja kota yang kita kunjungi sangat menarik tapi staynya singkat atau sebaliknya, kotanya membosankan tapi staynya lama. Jadi dari awal saya sudah harus mereka-reka mau tinggal berapa lama di sebuah kota. Sebagai contoh Wina saya setting dua malam sedangkan Berlin saya setting tiga malam.
Sekarang jadual saya meninggalkan Wina dengan godaan mampir dulu ke Bratislava sebelum ke Praha. Tapi ini agak rumit tidak seperti saat ke Estonia dari Helsinki. Kali ini saya harus cek out dulu dengan dua koper saya dan istri, belum lagi kami masing-masing juga menyandang ransel. Koper dan ransel harus dibawa ke mana-mana. Mana mungkin jalan-jalan di Bratislava dengan menggotong-gotong koper. Mungkin ada yang saran titip di stasiun. Pengalaman saya di Amsterdam memang ada penitipan koper. Tapi saya kurang yakin apakah juga ada di Bratislava. Pokoknya ribetlah kalau maksain diri ke Bratislava juga.
Akhirnya saya menghibur diri. Jadi orang jangan rakus. Sudah dapat ekstra ke Estonia saja di luar rencana, itu sudah sebuah syukur yang tidak terkira. Oleh karena itu saya tidak jadi ke Bratislava.
22. Enaknya Naik Bus
Hari ini saya meninggalkan Wina Austria menuju Praha Ceko. Ada tiga pilihan moda, pesawat, kereta atau bus. Jelas sekali saya tidak akan mengecek harga tiket pesawat. Saya hanya cek tiket kereta, ternyata 61 euro (1.006.000 rupiah). Kalau bus hanya 17,5 euro (288.000 rupiah). Terus saya pilih apa. Tentu saja tidak perlu lagi ditanya dan tidak perlu juga dijawab.
Jadual bus jam 13.00. Saya sampai di terminal jam 11.45, langsung beli tiket di tempat. Jika beli tiket kereta di Budapest kemarin tidak dimintain paspor, maka di sini mereka minta paspor. Terminal busnya sendiri gak kayak terminal bus di kita. Bersih, ada ruang tunggu dan pakai sistem cek in segala seperti masuk pesawat di bandara.
Jadual bus jam 13.00. Saya sampai di terminal jam 11.45, langsung beli tiket di tempat. Jika beli tiket kereta di Budapest kemarin tidak dimintain paspor, maka di sini mereka minta paspor. Terminal busnya sendiri gak kayak terminal bus di kita. Bersih, ada ruang tunggu dan pakai sistem cek in segala seperti masuk pesawat di bandara.
Saya belum makan siang. Karena masih ada waktu yang panjang, saya cari kebab dulu untuk nanti makan di bus. Di sekitar sana tidak ada warung kebab. Adanya agak jauh juga, sekitar 300 meter. Tapi karena itu adalah harapan satu-satunya untuk dapat makan siang maka saya jabanin juga. Boarding jam 12.450, sayapun antri sambil menenteng kebab. Eh, ama sopirnya gak boleh dibawa masuk, bus bukan restoran katanya. Kalau mau habiskan dulu di bawah, baru boleh masuk. Lah iya, yang bilang bus restoran siapa. Pesawat dan kereta api juga bukan restoran, tapi penumpang bebas makan dan minum. Tapi saya gak mau mendebat dia. Kali aja emang di bus dilarang makan kayak di metro dan trem juga dilarang makan dan minum. Jadilah kebabnya saya habiskan dulu, baru naik ke bus.
Busnya nyaman banget, apalagi ada wifinya. Jalannya juga bagus sehingga perjalanan sungguh menyenangkan. Singkat cerita bus sampai di Praha jam 17 sore, lebih lambat satu jam dari jadual seharusnya. Memasuki kota Praha jalanan macet, mungkin waktunya pulang kerja. Saya lihat di google traffic memang bewarna merah tua di hampir semua jalan. Itulah enaknya ada wifi. Di bus saya bisa akses Whatsapp, Facebook dan Google Map. Dari google map saya bisa lihat lokasi penginapan, Prague AppArt, Soukenicka 7, Prague. Tapi saya tidak tahu bus berhenti di terminal mana dan berapa jauh dari Soukenicka. Saya mengikuti terus pergerakan bus di google map dan syukurlah, ternyata mengarah ke Praha 1, region yang saya tuju. Saya beruntung karena setelah bus sampai di terminal, ternyata sungguh tidak jauh dari Soukenicka.
Tantangan berikutnya adalah bagaimana mencari rute kendaraan umum yang menuju ke sana (ingat saya back packer yang gak mampu naik taksi). Langkah pertama saya harus menukar uang euro dengan kron Ceko dengan kurs 1 euro sama dengan 26 kron. Langkah kedua tanya di mana halte trem dan halte terdekat ke Soukenicka sekaligus beli tiket trem seharga 24 kron. Katanya naik trem no 8 dan turun di Dlouha Trida, 3 halte dari lokasi sekarang, Florenc. Saya terpaksa banyak bertanya karena tidak punya peta Praha. Biasanya peta suatu kota saya dapatkan di airport saat kedatangan. Tapi karena saya datang naik bus, tentu saja saya gak punya peta Praha. Hanya bermodal google map saja di hape.
Dari terminal bus ke halte Florence harus naik turun tangga dan jalan sekitar 250m. Di tengah hujan rintik-rintik dan membawa koper 20kg lebih serta ransel berat di punggung, ini bukanlah perjalanan mudah. Apalagi tidak ada eskalator saat turun tangga dan pedestriannya tidak rata karena bukan beton tapi tersusun dari batu alam. Singkat cerita saya dan istri naik trem dengan susah payah menggotong koper karena lantai trem jauh lebih tinggi dari platform halte (beda dengan metro yang lantainya sejajar platform). Turun di halte tujuan masih ada tantangan baru yakni menemukan Soukenicka no 7. Setelah jalan sekitar 100m, ketemulah no 6 dan sebelahnya no 8. Berarti no 7 di seberang jalan dong. Saya lihat ke seberang, ternyata restoran. Tidak ada tanda-tanda yang menunjukkan adanya apartemen. Waduh, saya mulai was-was, jangan-jangan salah alamat. Apalagi waktu searching di googlesaat di bus ternyata ada banyak nama Soukenicka. Tapi di google juga saya sudah masuk ke web booking.com dan katanya di lokasi sini. Tapi kok restoran. Mana hari sudah gelap dan hujan masih rintik2.
Sedikit out of the topic, kehujanan di jalanan eropa adalah sebuah penderitaan. Kita tidak dapat berteduh di mana-mana karena tahu sendiri, seluruh bangunan di Eropa atapnya pas di dinding, tidak ada bagian yang menjorok keluar yang bisa sedikit melindungi kita dari hujan jika berjalan di selasar gedung. Berdiri di selasar gedung sama saja dengan berdiri di jalan raya, tidak terlindung sedikitpun dari hujan.
Kembali ke soal no 7, akhirnya saya samperin juga ke seberang jalan untuk melihat lebih dekat. Ternyata di samping restoran ada pintu kayu. Di samping pintu ada aneka nomor tombol bel. Ternyata di sana tertulis Prague AppArt tombol no 2. Ya ampun, masa sebuah penginapan hanya ditandai dengan nama kecil di samping bel. Tidak ada plang nama sama sekali. Gimana orang tahu kalau di sini ada penginapan.
Saya tekan bel pada tombol no 2, pintupun terbuka tapi tidak ada orang sama sekali. Sayapun melangkah masuk. Ternyata di balik pintu ada area terbuka dan di sebarangnya apartemen yang dicari. Penjaganya sudah menunggu kedatangan saya. Sayapun cek in, langsung bayar 80 euro (1.320.000 rupiah) untuk dua dua malam plus service charge 10 euro (165.000 rupiah). Selanjutnya ini saya namakan sebagai apartemen Praha 40 euro. Fasilitasnya jauh di bawah apartemen Budapest 35 euro. Lebih mahal, tapi lebih tidak bagus. Tapi bagi saya tetap nyaman karena tidak pernah punya ekspektasi tinggi. Selalu tahu diri karena waktu booking kan saya selalu memilih the cheapest one di setiap kota.
Tantangan berikutnya adalah bagaimana mencari rute kendaraan umum yang menuju ke sana (ingat saya back packer yang gak mampu naik taksi). Langkah pertama saya harus menukar uang euro dengan kron Ceko dengan kurs 1 euro sama dengan 26 kron. Langkah kedua tanya di mana halte trem dan halte terdekat ke Soukenicka sekaligus beli tiket trem seharga 24 kron. Katanya naik trem no 8 dan turun di Dlouha Trida, 3 halte dari lokasi sekarang, Florenc. Saya terpaksa banyak bertanya karena tidak punya peta Praha. Biasanya peta suatu kota saya dapatkan di airport saat kedatangan. Tapi karena saya datang naik bus, tentu saja saya gak punya peta Praha. Hanya bermodal google map saja di hape.
Dari terminal bus ke halte Florence harus naik turun tangga dan jalan sekitar 250m. Di tengah hujan rintik-rintik dan membawa koper 20kg lebih serta ransel berat di punggung, ini bukanlah perjalanan mudah. Apalagi tidak ada eskalator saat turun tangga dan pedestriannya tidak rata karena bukan beton tapi tersusun dari batu alam. Singkat cerita saya dan istri naik trem dengan susah payah menggotong koper karena lantai trem jauh lebih tinggi dari platform halte (beda dengan metro yang lantainya sejajar platform). Turun di halte tujuan masih ada tantangan baru yakni menemukan Soukenicka no 7. Setelah jalan sekitar 100m, ketemulah no 6 dan sebelahnya no 8. Berarti no 7 di seberang jalan dong. Saya lihat ke seberang, ternyata restoran. Tidak ada tanda-tanda yang menunjukkan adanya apartemen. Waduh, saya mulai was-was, jangan-jangan salah alamat. Apalagi waktu searching di googlesaat di bus ternyata ada banyak nama Soukenicka. Tapi di google juga saya sudah masuk ke web booking.com dan katanya di lokasi sini. Tapi kok restoran. Mana hari sudah gelap dan hujan masih rintik2.
Sedikit out of the topic, kehujanan di jalanan eropa adalah sebuah penderitaan. Kita tidak dapat berteduh di mana-mana karena tahu sendiri, seluruh bangunan di Eropa atapnya pas di dinding, tidak ada bagian yang menjorok keluar yang bisa sedikit melindungi kita dari hujan jika berjalan di selasar gedung. Berdiri di selasar gedung sama saja dengan berdiri di jalan raya, tidak terlindung sedikitpun dari hujan.
Kembali ke soal no 7, akhirnya saya samperin juga ke seberang jalan untuk melihat lebih dekat. Ternyata di samping restoran ada pintu kayu. Di samping pintu ada aneka nomor tombol bel. Ternyata di sana tertulis Prague AppArt tombol no 2. Ya ampun, masa sebuah penginapan hanya ditandai dengan nama kecil di samping bel. Tidak ada plang nama sama sekali. Gimana orang tahu kalau di sini ada penginapan.
Saya tekan bel pada tombol no 2, pintupun terbuka tapi tidak ada orang sama sekali. Sayapun melangkah masuk. Ternyata di balik pintu ada area terbuka dan di sebarangnya apartemen yang dicari. Penjaganya sudah menunggu kedatangan saya. Sayapun cek in, langsung bayar 80 euro (1.320.000 rupiah) untuk dua dua malam plus service charge 10 euro (165.000 rupiah). Selanjutnya ini saya namakan sebagai apartemen Praha 40 euro. Fasilitasnya jauh di bawah apartemen Budapest 35 euro. Lebih mahal, tapi lebih tidak bagus. Tapi bagi saya tetap nyaman karena tidak pernah punya ekspektasi tinggi. Selalu tahu diri karena waktu booking kan saya selalu memilih the cheapest one di setiap kota.
23. Kisah tentang Toliet
Kali ini bolehkah saya bercerita tentang toilet. Boleh ya. Orang bule itu suka kebersihan. Setiap keluar dari toilet dia pasti cuci tangan di wastafel. Tapi dia tidak bilas bekas bab pakai air, hanya pakai tisu saja. Orang Indonesia tidak semua cuci tangan di wastafel selesai dari toilet. Tapidia pasti bilas pakai air setelah bab. Jadi yang bersih itu siapa.
Sebagaimana kita ketahui toilet di Eropa tidak menyediakan air untuk bilas. Bagi kita orang timur yang biasa bilas seusai hajat alami tentu tidak bisa menerima ini. Akhirnya segala macam cara ditempuh agar tetap bisa berbilas. Biasanya bawa botol atau gelas ke toilet dan menampung air di wastafel untuk bilas. Untungnya hampir semua toilet ada wastafelnya, tinggal persoalan masalah jarak saja. Beruntung jika wastafel ada di sebelah toilet. Menampung air di botol dan berbilas jadi mudah. Tapi bagaimana jika wastafelnya sejauh 1m atau lebih dari toilet. Ya, silahkan bayangkan sendiri.
Apartemen yang saya tempati selama ini tentu saja seperti itu. Ada yang wastafelnya dekat dan ada yg jauh. Tapi yang jelas semua ada wastafelnya. Masalahnya di apartemen Praha 40 euro ini tidak ada wastafel di dalam toiletnya. Berarti ini bakal jadi masalah besar. Paling gak ini jadi masalah untuk besok pagi karena sekarang saya masih nulis cerita dulu, lalu searching tempat wisata dan terus tidur. Belum ada panggilan ke toilet. Yang saya sungguh gak mengerti kenapa konsep toilet tanpa air pembilas ini kok diikuti orang di Indonesia. Hampir semua mal dan hotel di Jakarta toiletnya tanpa air pembilas.
Tapi bicara tentang toilet, saya kok menemukan toilet yang luar biasa di Wina. Namanya bar toilet. Interior dalamnya didesain bagaikan bar. Bahkan sampai ada pianonya segala. Pintu masuknya juga bukan seperti pintu masuk ke toilet. Kalau gak percaya coba lihat foto-foto di bawah. Eh ternyata toilet di terminal bus Praha gak kalah nyentrik. Dindingnya dihiasi foto-foto artis Marilyn Monroe seperti yang saya potret di bawah ini. Adapun toilet di Alexander Plaatz di Berlin menyediakan mesin penukar uang receh. Harga masuk toilet setengah euro. Jika kita tidak punya uang receh maka masukkan uang yang kita punya ke mesin tersebut, nanti dia akan menukar uang kita dengan recehan setengah euro. Yang keterlaluan adalah toilet di Karlovy Lazne Shopping Center di Praha. Di sana jelas-jelas ditempelkan pengumuman. Price 15 kron or 0,50 euro, sorry we don’t accept this coins, lalu di samping tulisan itu ada foto koin 20, 10, 5, 2 dan 1 cent euro. Benar saja, waktu saya sodorkan koin 20 cent dua dan 10 cent satu sehingga menjadi 50 cent atau 0,5 euro, wanita tua penunggu toilet tersebut menolaknya. Dia menunjuk pada gambar koin 50 cent euro. Duh toilet, aya-aya wae.
Apartemen yang saya tempati selama ini tentu saja seperti itu. Ada yang wastafelnya dekat dan ada yg jauh. Tapi yang jelas semua ada wastafelnya. Masalahnya di apartemen Praha 40 euro ini tidak ada wastafel di dalam toiletnya. Berarti ini bakal jadi masalah besar. Paling gak ini jadi masalah untuk besok pagi karena sekarang saya masih nulis cerita dulu, lalu searching tempat wisata dan terus tidur. Belum ada panggilan ke toilet. Yang saya sungguh gak mengerti kenapa konsep toilet tanpa air pembilas ini kok diikuti orang di Indonesia. Hampir semua mal dan hotel di Jakarta toiletnya tanpa air pembilas.
Tapi bicara tentang toilet, saya kok menemukan toilet yang luar biasa di Wina. Namanya bar toilet. Interior dalamnya didesain bagaikan bar. Bahkan sampai ada pianonya segala. Pintu masuknya juga bukan seperti pintu masuk ke toilet. Kalau gak percaya coba lihat foto-foto di bawah. Eh ternyata toilet di terminal bus Praha gak kalah nyentrik. Dindingnya dihiasi foto-foto artis Marilyn Monroe seperti yang saya potret di bawah ini. Adapun toilet di Alexander Plaatz di Berlin menyediakan mesin penukar uang receh. Harga masuk toilet setengah euro. Jika kita tidak punya uang receh maka masukkan uang yang kita punya ke mesin tersebut, nanti dia akan menukar uang kita dengan recehan setengah euro. Yang keterlaluan adalah toilet di Karlovy Lazne Shopping Center di Praha. Di sana jelas-jelas ditempelkan pengumuman. Price 15 kron or 0,50 euro, sorry we don’t accept this coins, lalu di samping tulisan itu ada foto koin 20, 10, 5, 2 dan 1 cent euro. Benar saja, waktu saya sodorkan koin 20 cent dua dan 10 cent satu sehingga menjadi 50 cent atau 0,5 euro, wanita tua penunggu toilet tersebut menolaknya. Dia menunjuk pada gambar koin 50 cent euro. Duh toilet, aya-aya wae.
24. Backpacker’s Effect
Saya sarankan back packeran sebaiknya dilakukan di usia muda 20an dan 30an tahun. Kalau sudah 40 ke atas, apalagi 50, tolong dipikir ulang lagi. Usia di atas 40 tahun sudah harusnya traveling dengan anggun, pakai travel agent atau boleh mandiri, tapi rental mobil. Naik taksi juga berat karena tidak mudah menemukan taksi di sini. Mereka tidak berkeliaran di jalanan cari penumpang, tapi ngetem di tempat khusus taksi. Kalau ada usia di atas 40 masih back packeran berarti mereka dari golongan kurang sukses. Masa usia segitu masih gak mampu travelling dengan travel agent. Sebenarnya golongan kere tapi kok travelling. Travelling padahal kere. Kalau gitu saya termasuk yang terakhir ini dong. Ya iyalah, masa ya iya dong seperti kata Tika Project Pop. Saya kan sudah di atas 40 tahun.
Sekarang kerasa benar efeknya. Pinggang jadi gak enak setelah gotong-gotong koper selama dua minggu ini. Kaki pegal dipaksa jalan terus-terusan. Hidung mulai mampet karena kena gerimis. Mudah-mudahan saja tidak kena flu. Bahkan bukan hanya badan saja yang kena efek. Sepatu juga menderita sampai mulai lepas jahitannya. Koper lecet di sudut-sudutnya. Ransel juga lecet terkena gores macam-macam.
Saran yang kedua, jangan beli apa-apa kalau backpackeran. Kalau gak beban akan nambah terus. Makin panjang perjalanan maka makin bertambah beban sementara stamina semakin berkurang. Tapi ini kan mustahal juga. Masa gak beli apa-apa sama sekali. Masa gak beli souvenir atau baju atau tas atau sepatu buat oleh-oleh. Masa pulang ke rumah hanya bawa pakaian kotor. Apa kata anak2, keluarga, handai tolan dan teman sekantor.
Jadi yang benar itu bagaimana. Yang benar adalah jadi orang kaya, terus travelling dengan travel agent. Masa gak ngerti sih.
Sekarang kerasa benar efeknya. Pinggang jadi gak enak setelah gotong-gotong koper selama dua minggu ini. Kaki pegal dipaksa jalan terus-terusan. Hidung mulai mampet karena kena gerimis. Mudah-mudahan saja tidak kena flu. Bahkan bukan hanya badan saja yang kena efek. Sepatu juga menderita sampai mulai lepas jahitannya. Koper lecet di sudut-sudutnya. Ransel juga lecet terkena gores macam-macam.
Saran yang kedua, jangan beli apa-apa kalau backpackeran. Kalau gak beban akan nambah terus. Makin panjang perjalanan maka makin bertambah beban sementara stamina semakin berkurang. Tapi ini kan mustahal juga. Masa gak beli apa-apa sama sekali. Masa gak beli souvenir atau baju atau tas atau sepatu buat oleh-oleh. Masa pulang ke rumah hanya bawa pakaian kotor. Apa kata anak2, keluarga, handai tolan dan teman sekantor.
Jadi yang benar itu bagaimana. Yang benar adalah jadi orang kaya, terus travelling dengan travel agent. Masa gak ngerti sih.
25. Phobi Copet
Saya diingatkan orang supaya hati-hati dengan copet di Paris, terutama sekitar menara Eiffel. Ternyata benar karena bahkan banyak signage resmi tertempel di Eiffel, be aware to pocket picker, lengkap dengan simbolnya orang sedang mencopet. Seperti kita sering lihat signage hati-hati licin dengan simbol orang terpeleset. Atau dilarang merokok dengan simbol rokok coret.
Sekarang di Praha saya diingatkan lagi tentang copet ini. Karena itu saya melakukan beberapa persiapan walau tidak separno waktu dulu saat saya diingatkan tentang copet di Jakarta.
Saya mau sedikit flash back dulu tentang copet di Jakarta ini. Thn 1985 saat ke Jakarta pertama kali, saya begitu parno saat diingatkan dengan copet. Sampai uang saya keluarkan dari dompet dan disimpan di dalam kaus kaki sehingga terinjak-injak saat jalan pakai sepatu. Terus saya coba juga simpan di balik baju. Pokoknya parno banget.
Suatu waktu di tahun 1992 saya naik bus kota. Karena bus padat saya jadi waspada dengan copet. Dompet yang semula di saku belakang saya pindah ke saku depan. Saya pakai celana jeans, jadi saya pikir dompet lebih aman karena saku celana jeans kan sempit, jadi copet pasti susah ngambilnya.
Pas mau turun bus, di pintu keluar banyak banget orang. Saya keluar dengan susah payah. Saat itu memang ada terasa gerakan halus di saku celana depan, tapi saya yakin bukan copet karena kondisinya benar-benar padat banget. Gak mungkin tangan copet mencapai saku saya saking desak-desakannya. Sayapun berhasil turun dari bus dan langsung periksa saku. Innalillahi, benar saja, saya kecopetan. Dompet sudah gak ada lagi.
Begitu juga kejadian waktu naik haji tahun 2002. Saya kecopetan saat desak-desakan lempar jumroh. Sebelumnya saya juga tahu banyak copet saat musim haji, jadi uang saya simpan di ikat pinggang lebar lebar kain ihrom yang ada sakunya itu. Sakunya pakai resetling lagi. Setelah pakai ikat pinggang lebar itu terus ditutup lagi dengan menggulung kain ihrom kayak menggulung sarung. Jadi saya pikir sudah aman banget. Tapi hebatnya copet, saya masih kehilangan juga.
Sedikit out of topic juga, banyak yang mengaitkan musibah di saat haji atau umroh sabagai hukum karma. Kalau hilang sendal, berarti di tanah air kurang sedekah. Kalau kecopetan, berarti di tanah air suka ngambil hak orang lain. Kalau tersesat, berarti di tanah air bla bla bla dan seterusnya.
Tapi saya gak percaya itu hukum karma. Buktinya berapa banyak koruptor yang naik haji, tapi aman-aman saja. Gak kecopetan, gak kehilangan sendal, gak tersesat. Tentu saja karena mereka ikut bimbingan haji plus plus plus bintang sembilan. Kalau emang hukum karma berlaku saat naik haji, seharusnya semua koruptor itu kecopetan semua dong.
Sekarangbalik ke Praha lagi. Apa yg bisa saya lakukan dengan berbagai peringatan dan pengalaman pribadi tersebut. Saya mengambil strategi sebagai berikut. Dompet ditinggal di dalam koper di dalam kamar. Bawa uang cukup 50 euro (825.000 rupiah) saja tanpa bawa dompet. Kartu kredit dibawa untuk jaga-jaga. Jadi fokus saya hanya satu kantong celana berisi uang dan kartu kredit. Beda dengan di Spanyol, Finlandia, Hongaria dan Austria. Fokus saya pada empat kantong di celana. Kantong kanan depan hape, kantong kanan belakang dompet, kantong kiri depan uang di luar dompet dan kamera saku (o ya, tentang kamera ini ada cerita lain juga yang akan saya ceritakan nanti, tolongingatkan kalau saya lupa) dan kantong kiri belakang paspor. Jadi setiap beberapa saat saya selalu cek list, apakah barang-barangtersebut masih adadi kantong celana.
Doakan semoga saya gak kecopetan di Praha ya.
Sekarang di Praha saya diingatkan lagi tentang copet ini. Karena itu saya melakukan beberapa persiapan walau tidak separno waktu dulu saat saya diingatkan tentang copet di Jakarta.
Saya mau sedikit flash back dulu tentang copet di Jakarta ini. Thn 1985 saat ke Jakarta pertama kali, saya begitu parno saat diingatkan dengan copet. Sampai uang saya keluarkan dari dompet dan disimpan di dalam kaus kaki sehingga terinjak-injak saat jalan pakai sepatu. Terus saya coba juga simpan di balik baju. Pokoknya parno banget.
Suatu waktu di tahun 1992 saya naik bus kota. Karena bus padat saya jadi waspada dengan copet. Dompet yang semula di saku belakang saya pindah ke saku depan. Saya pakai celana jeans, jadi saya pikir dompet lebih aman karena saku celana jeans kan sempit, jadi copet pasti susah ngambilnya.
Pas mau turun bus, di pintu keluar banyak banget orang. Saya keluar dengan susah payah. Saat itu memang ada terasa gerakan halus di saku celana depan, tapi saya yakin bukan copet karena kondisinya benar-benar padat banget. Gak mungkin tangan copet mencapai saku saya saking desak-desakannya. Sayapun berhasil turun dari bus dan langsung periksa saku. Innalillahi, benar saja, saya kecopetan. Dompet sudah gak ada lagi.
Begitu juga kejadian waktu naik haji tahun 2002. Saya kecopetan saat desak-desakan lempar jumroh. Sebelumnya saya juga tahu banyak copet saat musim haji, jadi uang saya simpan di ikat pinggang lebar lebar kain ihrom yang ada sakunya itu. Sakunya pakai resetling lagi. Setelah pakai ikat pinggang lebar itu terus ditutup lagi dengan menggulung kain ihrom kayak menggulung sarung. Jadi saya pikir sudah aman banget. Tapi hebatnya copet, saya masih kehilangan juga.
Sedikit out of topic juga, banyak yang mengaitkan musibah di saat haji atau umroh sabagai hukum karma. Kalau hilang sendal, berarti di tanah air kurang sedekah. Kalau kecopetan, berarti di tanah air suka ngambil hak orang lain. Kalau tersesat, berarti di tanah air bla bla bla dan seterusnya.
Tapi saya gak percaya itu hukum karma. Buktinya berapa banyak koruptor yang naik haji, tapi aman-aman saja. Gak kecopetan, gak kehilangan sendal, gak tersesat. Tentu saja karena mereka ikut bimbingan haji plus plus plus bintang sembilan. Kalau emang hukum karma berlaku saat naik haji, seharusnya semua koruptor itu kecopetan semua dong.
Sekarangbalik ke Praha lagi. Apa yg bisa saya lakukan dengan berbagai peringatan dan pengalaman pribadi tersebut. Saya mengambil strategi sebagai berikut. Dompet ditinggal di dalam koper di dalam kamar. Bawa uang cukup 50 euro (825.000 rupiah) saja tanpa bawa dompet. Kartu kredit dibawa untuk jaga-jaga. Jadi fokus saya hanya satu kantong celana berisi uang dan kartu kredit. Beda dengan di Spanyol, Finlandia, Hongaria dan Austria. Fokus saya pada empat kantong di celana. Kantong kanan depan hape, kantong kanan belakang dompet, kantong kiri depan uang di luar dompet dan kamera saku (o ya, tentang kamera ini ada cerita lain juga yang akan saya ceritakan nanti, tolongingatkan kalau saya lupa) dan kantong kiri belakang paspor. Jadi setiap beberapa saat saya selalu cek list, apakah barang-barangtersebut masih adadi kantong celana.
Doakan semoga saya gak kecopetan di Praha ya.
26. Tertipu Secara Konstitusional
Pagi ini saya mulai eksplorasi (atau eksplotasi, mana yang benar), kota Praha. Start dimulai dengan suasana tidak meyakinkan karena saya tidak pegang peta sama sekali. Apartemen Praha 40 euro tdk menyediakan peta sama sekali. Sambil berjalan saya terus berpikir cara mendapatkan peta. Akhir timbul ide untuk cari peta di hotel lain. Begitu ketemu hotel lain dan saya masuk yang ada hanya brosur-brosur wisata tanpa peta. Jadi tetap gagal dapat peta.
Apa boleh buat. Kalau begitu lebih baik saya tukar uang saja dulu, tukar euro dengan mata uang kron Ceko. Eh gak dinyana, di money changer tersebut ada peta bekas turis lain yang ditinggal begitu saja. Wah, benar-benar langkah kanan nih, akhirnya punya peta. Dengan peta di tangan saya jadi sangat manntap untuk cari arah ke Old Town, Charles Bridge dan Prague Castle. Semua adalah destinasi wisata hasil searching saya tadi malam. Kebetulan semua tujuan tersebut dapat dicapai dengan jalan kaki karena ternyata penginapan saya sudah di dekat Old Town. Sepanjnag jalan dan apalagi di tempat tujuan tersebut penuh dengan turis. Sepanjang tujuh negara yang sudah saya lewati, jumlah turis terbanyak adalah di Praha ini.
Sepanjang perjalanan saya benar-benar waspada copet. Saya tidak bawa dompet, hanya sekedar uang di saku. Hape selalu saya jaga baik-baik. Tas ransel bukannya disandang di punggung, tapi justru di dada supaya selalu terawasi dengan baik. Alhamdulillah saya selamat dari copet, tapi namanya musibah, saya justru tertipu tanda kutip saat tukar uang. Ceritanya begini. Sepanjang jalan banyak yang menawarkan tukar uang pasar gelap. Jika di money changer kursnya 26 kron, dia menawarkan kurs 27 kron. Tapi saya tidak mau, takut ada apa-apa. Siapa tahu uangnya palsu atau ada modus lain yang saya tidak tahu. Lebih baik tidak ambil resiko terlibat pasar gelap kurs. Jadilah saya menukar uang selalu di kios changer. Di hampir semua kios changer selalu ada tulisan kommision 0%. Saya pikir wajarlah komisi 0%, kan dia sudah dapat untung dari kurs, kok minta komisi lagi.
Penukaran pertama lancar dan wajar. Penukaran kedua di tempat lain juga lancar. Nah pas penukaran ketigalah saya dapat musibah, tertipu tanda kutip karena saya tertipu secara konstitusional. Ceritanya saya lihat kursnya 26,5 kron, agak lebih baik dibanding sebelum-sebelumnya. Tapi sebenarnya pertimbangan saya bukanlah perbedaan setengah atau satu kron karena angkanya tidak signifikan. Apalah artinya setengan atau satu kron jika yang mau ditukar hanya 50 euro saja. Tapi saya menukar di situ karena lokasinya yang paling dekat dengan toko tempat istri saya mau beli beberapa souvenir. Saya tidak perhatikan bahwa di sana ada display yang menyebutkan adanya komisi. Saya pikir sama saja dengan changer lain. Saya sodorkan 50 euro, harusnya dapat 1.300an kron, tapi saya hanya terima 1.088 kron. Ada potongan sekitar 200 kron. Saat tanda tangan, saya sempat tanya kok bukan 1.300, lalu dia menunjuk angka di bawah yang tertera 1.088. Karena belum begitu familiar banget dengan mata uang kron ini, saya jadi gak begitu ngeh seberapa sebenarnya nilai potongan 200 kron tersebut. Jadi saya iyakan saja. Setelah sampai di toko souvenir barulah saya sadar bahwa komisi 200 kron itu besar banget karena senilai 8 euro (132.000 rupiah). Sayapun balik mau komplain, eh loketnya sudah tutup. Ada pengumuman tutup karena istirahat. Waktu itulah jelas terbaca di display depan loketbahwa ada potongan komisi 19%.
Jadilah saya tertipu 200 kron secara konstitusional karena dari awal dia sudah deklarasi ada komisi, kok saya mau juga menukar di sana.
Kejadian ini memang konyol sebenarnya. Masalahnya semua toko di Praha, termasuk toko souvenir ini sebenarnya menerima pembayaran dalam euro juga dengan kurs 25 kron. Tapi entah kenapa saya malah bela-belain nukar uang dulu. Rasa yang timbul saat itu adalah merasa kurang afdhol saja kalo gak belanja pakai mata uang lokal. Sekarang yang jadi pertanyaan saya, siapa juga yang mau tukar uang dengan dipotong komisi 19%. Logikanya dia akan bangkrut karena tidak bakal ada konsumen yang mau tukar uang dengan dipotong 19%. Tapi nyatanya dia tetap aja eksis di kios permanen. Apamungkin dia hidup dari turis-turis lain yang tertipu secara konstitusional juga seperti saya? Mungkin juga. Yang jelas hari ini jalan-jalan saya sukses tanpa kecopetan, tapi rugi di penukaran. Well prepared untuk sesuatu memang baik karena terhindar dari masalah. Tapi ternyata masalah bisa muncul dari sudut lain yang tidak kita sangka.
Apa boleh buat. Kalau begitu lebih baik saya tukar uang saja dulu, tukar euro dengan mata uang kron Ceko. Eh gak dinyana, di money changer tersebut ada peta bekas turis lain yang ditinggal begitu saja. Wah, benar-benar langkah kanan nih, akhirnya punya peta. Dengan peta di tangan saya jadi sangat manntap untuk cari arah ke Old Town, Charles Bridge dan Prague Castle. Semua adalah destinasi wisata hasil searching saya tadi malam. Kebetulan semua tujuan tersebut dapat dicapai dengan jalan kaki karena ternyata penginapan saya sudah di dekat Old Town. Sepanjnag jalan dan apalagi di tempat tujuan tersebut penuh dengan turis. Sepanjang tujuh negara yang sudah saya lewati, jumlah turis terbanyak adalah di Praha ini.
Sepanjang perjalanan saya benar-benar waspada copet. Saya tidak bawa dompet, hanya sekedar uang di saku. Hape selalu saya jaga baik-baik. Tas ransel bukannya disandang di punggung, tapi justru di dada supaya selalu terawasi dengan baik. Alhamdulillah saya selamat dari copet, tapi namanya musibah, saya justru tertipu tanda kutip saat tukar uang. Ceritanya begini. Sepanjang jalan banyak yang menawarkan tukar uang pasar gelap. Jika di money changer kursnya 26 kron, dia menawarkan kurs 27 kron. Tapi saya tidak mau, takut ada apa-apa. Siapa tahu uangnya palsu atau ada modus lain yang saya tidak tahu. Lebih baik tidak ambil resiko terlibat pasar gelap kurs. Jadilah saya menukar uang selalu di kios changer. Di hampir semua kios changer selalu ada tulisan kommision 0%. Saya pikir wajarlah komisi 0%, kan dia sudah dapat untung dari kurs, kok minta komisi lagi.
Penukaran pertama lancar dan wajar. Penukaran kedua di tempat lain juga lancar. Nah pas penukaran ketigalah saya dapat musibah, tertipu tanda kutip karena saya tertipu secara konstitusional. Ceritanya saya lihat kursnya 26,5 kron, agak lebih baik dibanding sebelum-sebelumnya. Tapi sebenarnya pertimbangan saya bukanlah perbedaan setengah atau satu kron karena angkanya tidak signifikan. Apalah artinya setengan atau satu kron jika yang mau ditukar hanya 50 euro saja. Tapi saya menukar di situ karena lokasinya yang paling dekat dengan toko tempat istri saya mau beli beberapa souvenir. Saya tidak perhatikan bahwa di sana ada display yang menyebutkan adanya komisi. Saya pikir sama saja dengan changer lain. Saya sodorkan 50 euro, harusnya dapat 1.300an kron, tapi saya hanya terima 1.088 kron. Ada potongan sekitar 200 kron. Saat tanda tangan, saya sempat tanya kok bukan 1.300, lalu dia menunjuk angka di bawah yang tertera 1.088. Karena belum begitu familiar banget dengan mata uang kron ini, saya jadi gak begitu ngeh seberapa sebenarnya nilai potongan 200 kron tersebut. Jadi saya iyakan saja. Setelah sampai di toko souvenir barulah saya sadar bahwa komisi 200 kron itu besar banget karena senilai 8 euro (132.000 rupiah). Sayapun balik mau komplain, eh loketnya sudah tutup. Ada pengumuman tutup karena istirahat. Waktu itulah jelas terbaca di display depan loketbahwa ada potongan komisi 19%.
Jadilah saya tertipu 200 kron secara konstitusional karena dari awal dia sudah deklarasi ada komisi, kok saya mau juga menukar di sana.
Kejadian ini memang konyol sebenarnya. Masalahnya semua toko di Praha, termasuk toko souvenir ini sebenarnya menerima pembayaran dalam euro juga dengan kurs 25 kron. Tapi entah kenapa saya malah bela-belain nukar uang dulu. Rasa yang timbul saat itu adalah merasa kurang afdhol saja kalo gak belanja pakai mata uang lokal. Sekarang yang jadi pertanyaan saya, siapa juga yang mau tukar uang dengan dipotong komisi 19%. Logikanya dia akan bangkrut karena tidak bakal ada konsumen yang mau tukar uang dengan dipotong 19%. Tapi nyatanya dia tetap aja eksis di kios permanen. Apamungkin dia hidup dari turis-turis lain yang tertipu secara konstitusional juga seperti saya? Mungkin juga. Yang jelas hari ini jalan-jalan saya sukses tanpa kecopetan, tapi rugi di penukaran. Well prepared untuk sesuatu memang baik karena terhindar dari masalah. Tapi ternyata masalah bisa muncul dari sudut lain yang tidak kita sangka.
27. Beda Orang Beda Interes
Saya gak kebayang bagaimana mengikuti sebuah grup tur yang katakanlah terdiri dari 15 orang. Setiap orang pasti punya minat yang berbeda sehingga kita harus punya banyak stok kesabaran. Misalnya kita tidak suka dengan suatu lokasi sedangkan orang lain begitu betah di sini. Atau sebaliknya kita suka suatu tempat, tapi rombongan sudah mau berangkat sehingga mau tidak mau kita ikut berangkat juga.
Kenapa sampai saya berpikiran demikian. Karena saya saja yang hanya berdua dengan istri sudah sangat sering berbeda pendapat. Dia selalu berlama-lama di lokasi yang saya tidak berminat dan menurut saya tidak menarik. Menurut saya sangat sayang jika waktu yang berharga dihabiskan di lokasi itu. Sebaliknya dia yang tidak sabar kalau saya mengamati detil sesuatu, menikmati sesuatu yg luar biasa atau mengambil foto hal-hal yang menarik. Misalnya saat di Brussels saya melihat lukisan cat air di media kertas oleh seniman jalanan yang sangat luar biasa karena begitu naturalisnya. Saya sampai copot kacamata mengagumi permainan warna cat air tersebut. Tapi justru di mata dia sayalah yang buang-buang waktu untuk sesuatu yang tidak penting.
Bayangkan, hanya dua orang, suami istri lagi yang sudah hidup bersama selama 22 thn, tapi masih juga beda pendapat saat jalan-jalan. Apalagi rombongan tour yang tidak saling kenal, berjumlah 15 orang lagi. Akhirnya yang benar-benar bebas itu adalah backpacker sendirian.
Kenapa sampai saya berpikiran demikian. Karena saya saja yang hanya berdua dengan istri sudah sangat sering berbeda pendapat. Dia selalu berlama-lama di lokasi yang saya tidak berminat dan menurut saya tidak menarik. Menurut saya sangat sayang jika waktu yang berharga dihabiskan di lokasi itu. Sebaliknya dia yang tidak sabar kalau saya mengamati detil sesuatu, menikmati sesuatu yg luar biasa atau mengambil foto hal-hal yang menarik. Misalnya saat di Brussels saya melihat lukisan cat air di media kertas oleh seniman jalanan yang sangat luar biasa karena begitu naturalisnya. Saya sampai copot kacamata mengagumi permainan warna cat air tersebut. Tapi justru di mata dia sayalah yang buang-buang waktu untuk sesuatu yang tidak penting.
Bayangkan, hanya dua orang, suami istri lagi yang sudah hidup bersama selama 22 thn, tapi masih juga beda pendapat saat jalan-jalan. Apalagi rombongan tour yang tidak saling kenal, berjumlah 15 orang lagi. Akhirnya yang benar-benar bebas itu adalah backpacker sendirian.
28. Pilih Lima atau Sepuluh
Travelling saat ini saya setting dengan rata-rata masa stay di satu kota antara dua sampai tiga malam saja. Di Wina dan Praha saya hanya dua malam saja atau dapat tiga siang tidak penuh. Hari pertama terpakai untuk perjalanan dari kota asal ke kota tujuan dan malamnya istirahat. Hari kedua full untuk jalan-jalan eksploitasi kota dan malamnya kembali packing untuk pindah kota besoknya. Hari ketiga adalah di perjalanan dari kota asal ke kota tujuan. Begitu seterusnya jadi sebuah siklus.
Apakah saya puas? Jelas tidak puas. Baru saja kita orientasi sebuah kota di pagi hari dan kemudian setelah agak familiar di sore hari, tapi besoknya sudah harus ditinggal untuk pindah kota lagi. Ibarat menteri kena reshuffle, baru saja orientasi dengan kementeriannya dan setelah agak familiar tahu-tahu dipindah ke kementerian lain. Tapi tentu saja bagi menteri tersebut tetap lebih baik daripada direshuffle tidak jadi menteri lagi. Kemudian capeknya juga bukan main. Bongkar koper, jalan-jalan, packing koper, pindah kota dan negara, bongkar koper, jalan-jaln, packing koper, pindah kota dan negara dan seterusnya sampai sepuluh kali sesuai destinasi saya saat ini.
Masa stay yang ideal di setiap kota seharusnya paling tidak adalah empat malam atau dapat lima siang. Kita punya waktu yang lapang untuk jalan-jalan secara santai dan ada waktu untuk istirahat. Hanya saja konsekuensinya adalah waktu dan biaya. Sepuluh kota kali dengan masing-masing lima hari sama dengan 50 hari. Dua kali lipat dibanding saya saat ini yang 25 hari. Biaya akomodasi otomatis jadi dua kali lipat juga.
Dengan budget sekarang dan waktu 25 hari, sebenarnya saya punya dua pilihan.
1. Travelling ideal dangan waktu lapang dan budget yang sama, tapi hanya dapat lima kota/negara.
2. Atau travelling cepat dengan waktu stay sempit plus capek namun tetap dengan budget yang sama, tapi dapat 10 kota/negara.
Nah, kalau sodara-sodara pembaca pilih yang mana?
Apakah saya puas? Jelas tidak puas. Baru saja kita orientasi sebuah kota di pagi hari dan kemudian setelah agak familiar di sore hari, tapi besoknya sudah harus ditinggal untuk pindah kota lagi. Ibarat menteri kena reshuffle, baru saja orientasi dengan kementeriannya dan setelah agak familiar tahu-tahu dipindah ke kementerian lain. Tapi tentu saja bagi menteri tersebut tetap lebih baik daripada direshuffle tidak jadi menteri lagi. Kemudian capeknya juga bukan main. Bongkar koper, jalan-jalan, packing koper, pindah kota dan negara, bongkar koper, jalan-jaln, packing koper, pindah kota dan negara dan seterusnya sampai sepuluh kali sesuai destinasi saya saat ini.
Masa stay yang ideal di setiap kota seharusnya paling tidak adalah empat malam atau dapat lima siang. Kita punya waktu yang lapang untuk jalan-jalan secara santai dan ada waktu untuk istirahat. Hanya saja konsekuensinya adalah waktu dan biaya. Sepuluh kota kali dengan masing-masing lima hari sama dengan 50 hari. Dua kali lipat dibanding saya saat ini yang 25 hari. Biaya akomodasi otomatis jadi dua kali lipat juga.
Dengan budget sekarang dan waktu 25 hari, sebenarnya saya punya dua pilihan.
1. Travelling ideal dangan waktu lapang dan budget yang sama, tapi hanya dapat lima kota/negara.
2. Atau travelling cepat dengan waktu stay sempit plus capek namun tetap dengan budget yang sama, tapi dapat 10 kota/negara.
Nah, kalau sodara-sodara pembaca pilih yang mana?
29. Kejutan Kecil
Dapat kejutan-kejutan kecil itu menyenangkan juga. Tadi malam saya cek tiket bus Praha – Berlin di internet, harganya 22 euro (363.000 rupiah). Tapi waktu beli tiket langsung di terminal Praha ternyata harganya hanya 16 euro (264.000 rupiah). Malah lebih murah daripada tiket Wina – Praha. Padahal jarak Praha – Berlin lebih jauh daripada Wina – Praha. Busnya dari perusahaan bus Eurobus, bertingkat dan nyaman banget. Ada wifi dan ada stop kontak untuk charger hape. Bahkan ada mejanya segala. Sopirnya juga keren pakai dasi, menyamai penampilan para manajer profesional di pusat bisnis SCBD Jakarta. Coba kurang apa lagi. Kalau kata anak saya ini namanya pw alias pewe alias puwas.
Penumpang gak banyak kalau gak disebut sangat sedikit. Di lantai atas paling lima sampai enam orang saja. Di lantai bawah ada sembilan orang termasuk kami dua orang. Jalan raya sangat mulus dan kendaraan jarang. Di kiri kanan terhampar tanah-tanah luas. Karena masih peralihan dari kota dan luar kota maka di kiri kanan belum kelihatan hamparan lahan pertanian. Cuaca agak mendung, tapi tidak hujan. Saya duduk berdampingan dengan istri, duduk bersandar menikmati perjalanan. Ya Allah, betapa bersyukurnya saya dikasih kesempatan melihat sebagian bumiMu di belahan Eropa ini.
Penumpang gak banyak kalau gak disebut sangat sedikit. Di lantai atas paling lima sampai enam orang saja. Di lantai bawah ada sembilan orang termasuk kami dua orang. Jalan raya sangat mulus dan kendaraan jarang. Di kiri kanan terhampar tanah-tanah luas. Karena masih peralihan dari kota dan luar kota maka di kiri kanan belum kelihatan hamparan lahan pertanian. Cuaca agak mendung, tapi tidak hujan. Saya duduk berdampingan dengan istri, duduk bersandar menikmati perjalanan. Ya Allah, betapa bersyukurnya saya dikasih kesempatan melihat sebagian bumiMu di belahan Eropa ini.
30. Inilah Metro
Di Eropa beli tiket metro atau trem dilakukan melalui mesin tiket otomatis. Jalan masuk ke platform metro di hampir semua kota yang saya kungjungi seperti Helsinki, Wina, Praha, Berlin, Amsterdam dan lain-lain tanpa dijaga sama sekali. Kecuali di Budapest, ada penjaga yang memperhatikan, apakah kita melakukan validasi tiket di mesin validasi atau tidak. Validasi harus dilakukan sebagai tanda tiket one way sudahdigunakan sehingga tidak bisa digunakan lagi. Kalau tiketnya tiket 24 jam tentu bisa digunakan lagi. Di Praha sendiri pilihan tiketnya adalah tiket 30 menit, 90 menit atau 24 jam. Di Budapest para penumpang cukup menunjukkan kartu pada petugas jika dia punya kartu langganan. Adapun di dalam metro sendiri hampir tidak pernah ada pemeriksaan.
Jalur masuk trem lebih bebas lagi karena haltenya di tempat terbuka. Jadi semua orang baik yang punya maupun tidak punya tiket dapat masuk begitu saja ke trem. Di atas trem juga tidak ada pemeriksaan tiket.
Sistem MRT di Eropa jauh lebih longgar dibanding MRT di Singapura. Di Singapura kita harus insert tiket di mesin, barulah palangnya terbuka dan kita bisa lewat. Untuk keluar stasiun juga sangat ketat karena kita tidak bisa keluar sembarangan di Singapura. Tempat keluar stasiun harus sesuai dengan tujuan di tiket. Kalau gak maka palangnya tidak bisa membuka dan kita tidak bisa keluar. Di Eropa kita dapat keluar dengan mudah di stasiun mana saja karena tidak ada palang lagi di pintu keluar.
Yang saya bayangkan, apakah mungkin diterapkan di Indonesia seperti itu. Kejujuran untuk mau membeli tiket. Kejujuran untuk membeli kartu langganan. Kejujuran untuk melakukan validasi. Tanpa ada petugas yg memeriksanya.
Jalur masuk trem lebih bebas lagi karena haltenya di tempat terbuka. Jadi semua orang baik yang punya maupun tidak punya tiket dapat masuk begitu saja ke trem. Di atas trem juga tidak ada pemeriksaan tiket.
Sistem MRT di Eropa jauh lebih longgar dibanding MRT di Singapura. Di Singapura kita harus insert tiket di mesin, barulah palangnya terbuka dan kita bisa lewat. Untuk keluar stasiun juga sangat ketat karena kita tidak bisa keluar sembarangan di Singapura. Tempat keluar stasiun harus sesuai dengan tujuan di tiket. Kalau gak maka palangnya tidak bisa membuka dan kita tidak bisa keluar. Di Eropa kita dapat keluar dengan mudah di stasiun mana saja karena tidak ada palang lagi di pintu keluar.
Yang saya bayangkan, apakah mungkin diterapkan di Indonesia seperti itu. Kejujuran untuk mau membeli tiket. Kejujuran untuk membeli kartu langganan. Kejujuran untuk melakukan validasi. Tanpa ada petugas yg memeriksanya.
Merancang stasiun metro bawah tanah tentu juga bukanlah hal yang gampang. Harus dipikirkan bagaimana sistem drainasenya agar tidak kebanjiran. Bagaimana sirkulasi udaranya agar tidak pengap. Bagaimana pengaturan lalu lintas orang dan lalu lintas kereta, terutama di stasiun inter koneksi. Untuk stasiun interkoneksi antar line jurusan, platformnya tentu saja minimal dua tingkat dan lebih banyak tingkat lagi jika interkoneksinya melebihi dua line. Fasilitas tangga, eskalator dan lift juga perlu dipikirkan.
Hampir semua stasiun metro dilengkapi eskalator. Hanya di Praha saya menemukan bahwa dari permukaan tanah ke lantai pertama stasiun yang tidak dilengkapi eskalator turun, hanya eskalator naik saja. Saya adalah salah seorang korban yang bersusah payah menggotong koper 20kg lebih dengan ransel berat di punggung sambil menuruni anak tangga satu demi satu di sana. Tapi masih ada untung juga karena dari lantai pertama stasiun ke platform metro disediakan eskalator baik untuk naik maupun turun.
Di platform stasiun metro bawah tanah Praha saya merasakan adanya tiupan angin. Padahal itu kan ruang tertutup di bawah tanah, ada angin dari mana. Saya ambil kesimpulan sendiri, berarti sistem sirkulasi udara di sana sangat bagus. Di Paris mungkin sistem sirkulasinya tidak begitu bagus karena terasa kurang fresh. Atau mungkin karena penumpang metro di Paris yang sangat banyak sehingga udaranya tidak segar. Tapi dari info yang saya dapat, katanya stasiun metro di London lebih parah lagi. Sangat pengap dan tidak nyaman. Saya belum pernah ke London. Mungkin ada yang bisa sharing info tentang kondisi stasiun metro bawah tanah London.
Hampir semua stasiun metro dilengkapi eskalator. Hanya di Praha saya menemukan bahwa dari permukaan tanah ke lantai pertama stasiun yang tidak dilengkapi eskalator turun, hanya eskalator naik saja. Saya adalah salah seorang korban yang bersusah payah menggotong koper 20kg lebih dengan ransel berat di punggung sambil menuruni anak tangga satu demi satu di sana. Tapi masih ada untung juga karena dari lantai pertama stasiun ke platform metro disediakan eskalator baik untuk naik maupun turun.
Di platform stasiun metro bawah tanah Praha saya merasakan adanya tiupan angin. Padahal itu kan ruang tertutup di bawah tanah, ada angin dari mana. Saya ambil kesimpulan sendiri, berarti sistem sirkulasi udara di sana sangat bagus. Di Paris mungkin sistem sirkulasinya tidak begitu bagus karena terasa kurang fresh. Atau mungkin karena penumpang metro di Paris yang sangat banyak sehingga udaranya tidak segar. Tapi dari info yang saya dapat, katanya stasiun metro di London lebih parah lagi. Sangat pengap dan tidak nyaman. Saya belum pernah ke London. Mungkin ada yang bisa sharing info tentang kondisi stasiun metro bawah tanah London.