Kami tinggal di New York melebihi rencana awal itinerary. Awalnya saya set extent 3 malam saja setelah bersama rombongan 2 malam. Tapi karena rencana indah saya mengunjungi kota demi kota dalam perjalanan dari east coast ke west coast hancur berantakan maka sebagian jatah waktu kota2 tersebut dimasukkan ke New York saja. Akhirnya kami extent lagi 3 malam sehingga total waktu tinggal kami di New York adalah 8 malam.
Saya sudah merasa tua. Fisik sudah tidak bugar lagi. Dua belas hari mengikuti itinerary travel biro yang sangat ketat cukup membuat saya tepar. Hari pertama extention kami hanya di kamar saja memulihkan stamina.
Perjalanan dengan travel biro adalah pindah kota setiap hari sehingga dua kali sehari selalu ada ritual angkat koper cek in, packing ulang dan angkat koper cek out. Hanya dua kota saja yang sempat menginap 2 malam yakni Toronto dan New York. Lainnya cek in malam dan cek out pagi2 sekali.
Seekstrim2nya kami traveling mandiri selama ini maka tidak pernah menginap hanya semalam. Rata2 selalu 2 atau 3 malam. Khusus untuk Amerika ini maka saya plot rata2 4 malam supaya tidak telalu membebani fisik.
Traveling yang paling berat itu adalah mengangkat2 koper. Kami bersyukur dari dua koper bagasi dan dua koper kabin maka satu koper bagasi dan satu koper kabin sudah dititipkan pada teman yang pulang dengan rombongan. Seharusnya beban kami berdua hanya tinggal satu koper bagasi dan satu koper kabin saja. Tapi apa daya, extention 6 malam di New York membuat koper mau tidak mau jadi beranak lagi. Jadilah satu koper bagasi beranak lagi dengan ukuran yang sama dengan induknya. Jadi akan ada dua koper bagasi dan satu koper kabin yang akan kami usung ke mana2.
Extention enam malam membuat saya berani mengatakan saya sudah kenal New York. Dengan ke mana2 memakai transportasi publik maka kita akan cepat memahami sebuah kota. Kita jadi tahu bahwa tidak semua bagian kota gemerlap seperti yang kita lihat di film atau foto namun ada juga sisi muramnya.
New York yang kita kenal sebagai kota gemerlap ternyata itu hanya untuk area Manhattan saja. Di luar itu seperti di area Queens tempat kami menginap maka suasananya biasa2 saja. Kita tidak merasa sedang di New York padahal Queens masih termasuk New York City.
Rumah, toko, kios dan lapak pedagang kaki lima juga ada. Sesaat saya malah sempat merasa saya sedang di Bangkok yang juga ada lapak2 pedagang kaki lima. Kebersihannya juga tidak terjaga. Kalah jauh dengan pemukiman di Tokyo yg juga bukan bagian dari Tokyo yang gemerlap namun tetap bersih, resik dan rapi.
Selain menjelajah Manhattan maka saya hanya berkeliaran di daerah Queens, Brooklyn dan Astoria saja. Tiga wilayah ini berada di bagian barat pulau Long Island yang dipisahkan oleh East River dengan area Manhattan.
Masih ada wilayah tidak gemerlap New York lainnya seperti Harlem dan Bronx. Tapi saya diingatkan oleh teman bahwa kalau dikatakan rawan maka daerah itu memang rawan. Karena itu saya tidak berani juga jalan2 di sana daripada nanti kena todong atau tindak kriminal lainnya.
Seperti semua kota besar dunia lainnya maka transportasi publik paling efektif adalah kereta bawah tanah. Di Eropa disebut Metro sedangkan di sini disebut subway.
Secara garis besar saya sudah memahami jalur2 subway di New York. Ada yang diberi nama alfabet seperti jalur A, B, C, D, F, J, M, N, R, Q, W dan Z dan diberi nama angka seperti 1, 2, 3, 4, 5, 6 dan 7. Saya tidak tahu kenapa utk nama alfabet tidak urut tapi melompat2.
Saya sudah melihat dan merasakan sendiri sistem kereta bawah tanah banyak kota2 besar dunia. Karena itu sadar tidak sadar saya selalu membandingkan dengan kota lain. Untuk map jalur kereta maka saya merasa map yang ada kurang informatif untuk lokasi perpindahan jalur. Tidak begitu jelas apakah bisa perpindahan jalur di satu titik yang ada pertemuan dua jalur.
Misalnya saya sulit menemukan di titik mana jalur biru A dan C bertemu dengan jalur ungu 7. Atau jalur oren B dan D bertemu dengan jalur ungu 7. Mohon maaf kepada warga New York karena saya merasa map kereta bawah tanah Tokyo dan Singapura jauh lebih informatif dan lebih mudah bagi saya untuk menuju titik tujuan. Di map tersebut jelas sekali kita harus turun dan pindah jalur di titik mana.
Informasi penunjuk arah di platform juga hanya sederhana saja. Beda dengan di Tokyo, di sana seluruh rute yg dilewati dipajang dengan jelas sedangkan rute sebaliknya dibuat agak blur. Jadi kita yakin tidak akan salah arah. Tidak heran jika saya sempat juga salah arah di sini. Mau ke arah WTC malah sempat naik yang ke arah sebaliknya upper Manhattan.
Yang saya tidak mengerti adalah saat subway tidak berhenti di beberapa stasiun yang dilewati. Saya mengalami hal ini dua kali. Pertama saat naik line 1 dari Time Square 42 street ke WTC Cortlandt. Subway tidak berhenti namun terus saja lanjut sampai ke ujung jalur South Ferry. Saya terpaksa ikut kereta yang balik arah lagi. Setelah balik arah barulah dia berhenti di WTC Cortlandt.
Yang saya herankan lagi kereta itu balik arah di jalur yang sama. Seharusnya bukan demikian karena semua jalur adalah double track. Satu sisi hanya untuk satu arah saja, bukan bolak balik di track yang sama.
Pengalaman kedua adalah subway jalur 2. Dia tidak berhenti di 72 street, 79 street dan 86 street tapi terus saja melaju dan baru berhenti di 96 street. Padahal kami mau turun di 86 street.
Suasana agak mencekam bagi kami karena kereta terus melaju. Masalahnya ini adalah kereta tujuan Harlem. Tambahan lagi gerbong sepi, hanya ada beberapa orang kulit hitam di sana. Suasana semakin mencekam saat lampu kereta tiba2 meredup. Jadi pas kereta berhenti di 86 street maka kami cepat2 turun.
Hal2 unik lain yang saya temukan selama perjalanan dengan subway ini adalah adanya pengamen di dalam stasiun. Mereka membawa alat musik seperti drum dan saxophone.
Pengamen di stasiun mungkin biasa seperti di kota2 besar dunia lainnya. Tapi yang agak unik adalah ada juga pedagang kaki lima di dalam stasiun. Ini yang tidak saya temukan di tempat2 lain. Bahkan yang lebih ekstrim adalah ada anak2 pengasong di dalam subway. Mereka menjajakan coklat. Sama seperti pengasong di tempat kita, dia bilang coklat, coklat sambil menjajakan. Saya sempat mengikuti dan memfoto tapi dia menutup wajahnya saat tahu saya foto.
Lalu juga ada pedagang kaki lima di 5th Avenue. Kita tahu bahwa 5th Ave adalah jalan utamanya New York tempat Trump Tower, Rockefeller Center dan aneka outlet merek ternama berlokasi. Jadi saya tidak menduga di lokasi paling elit ini tetap saja ada pedagang kaki lima.
Dalam posting terdahulu saya pernah menyampaikan dengan nada kecewa bahwa Amerika memang beda sekali dengan Eropa. Saat itu saya begitu frustrasi dengan sistem transportasinya yang hampir tidak mengakomodir kebutuhan orang yang tidak punya mobil sendiri. Tapi ternyata ada juga persamaannya dengan Eropa.
Di Belanda saya menunggu mobil melintas dulu saat saya mau menyeberang jalan. Tapi mobilnya malah berhenti dan mempersilahkan saya menyeberang dulu. Ternyata di Amerika ini juga sama. Baik di New York maupun di Chicago seperti biasa saya akan menunggu mobil lewat dulu baru menyeberang. Tapi berkali2 kejadian yang sama terulang. Mobilnya malah berhenti dan mempersilahkan kami menyeberang duluan.
Itu semuanya di lokasi penyeberangan pejalan kaki yang tidak ada traffic lightnya. Untuk yang ada traffic lightnya maka tentu saja saya akan mengikuti isyarat traffic light.