6. Alasan Pembenaran

  1. Alasan Pembenaran

Sebenarnya menjadi back packer itu menderita. Tapi untuk menyenangkan diri sendiri dicarilah alasan-alasan pembenaran. Misalnya saya bebas mau ke mana saja dan mau berapa lama. Kalau ikut travel agent gak bisa kan.
Tapi kekurangannya tentu lebih banyak lagi. Selain capek jalan kaki, angkat-angkat koper saat pindah kota atau negara dan penginapan yang seadanya, kekurangan lainnya adalah efisiensi waktu. Travel agent sangat efisien dalam soal waktu karena mereka langsung bisa sampai ke tujuan seketika. Tapi untuk kita yang back packer harus baca-baca peta dulu. Lihat arah tujuan. Cari moda transportasi yang ke sana, apakah metro, trem atau bus. Bahkan plus tanya-tanya dulu kalau tidak yakin. Ini saja bisa menghabiskan waktu sampai setengah jam bahkan lebih.

 

Pada waktu jalan kaki saya juga harus sering-sering lihat peta. Mana kacamata saya minus lagi, jadi saat buka peta harus buka kacamata dulu. Kalau tidak tulisan di peta gak kelihatan. Jadi lucu juga karena begitu jalan seratus meter berhenti dulu, buka kacamata, cek peta, pasang kacamata dan jalan lagi. Begitu ketemu pertigaan atau perempatan begitu lagi, berhenti jalan, buka kacamata, cek peta, pasang kacamata dan jalan lagi. Begitu terus berulangkali sampai benar-benar sampai di lokasi yang dituju.

 

Tapi konyolnya walaupun sudah cek peta tiap sebentar, tetap saja masih ada kemungkinan nyasar. Rasanya sudah yakin bahwa lokasi kita sudah sesuai dengan di peta, tapi faktanya salah jalan. Terpaksalah balik kembali ke jalan yang benar. Kesal juga sih, tapi untuk menghibur diri anggap saja ini bagian dari pengamalan ajaran agama yakni agar kita selalu kembali ke jalan yang benar.  Sebenarnya membaca peta itu gampang. Tapi pas di lapangan tetap saja ada kegamangan menentukan arah. Kadang saya lama sekali mereka-reka arah. Cari petunjuk nama jalan atau nama gedung di dekatnya. Misalnya saat mencari jalan Aleksanterinkatu di Helsinki. Nama tersebut tertempel di dinding sebuah gedung di perempatan jalan. Tapi karena tepat di perempatan, kita sulit menentukan apakah jalan tersebut yang di hadapan kita atau yang melintasi kita. Ada nama-nama toko di sepanjang kedua jalan tersebut, tapi tidak mencantumkan nama jalannya.

 

Kadang di lokasi yang kita sudah familiar saja masih bisa kehilangan orientasi. Contohnya di Bugis Singapura. Rasanya saya sudah sangat hafal wilayah Bugis, tapi ternyata masih bisa kehilangan orientasi arah waktu bersama teman di sana.
Baca peta di Budapest masih agak mendingan karena walaupun huruf-hurufnya agak aneh karena ditambahi tanda garis, titik dan apostrof di atas huruf-hurufnya, tapi masih tetap tulisan latin. Yang parah adalah saat saya membaca peta di Beijing. Semuanya karakter China tanpa huruf latin. Jadi yg saya lakukan bukanlah membaca peta, tapi mencocok-cocokkan karakter huruf china di peta dengan karakter di sekitarnya. Bayangkan betapa sulitnya dan betapa lamanya.

 

Artikel Terkait