13. Setelah kisah modus sopir tuk tuk pangkalan tersebut, selanjutnya saya bertemu tuk tuk lain yg sedang ngetem. Saya tanya berapa harga sewa sehari penuh. Supaya tdk ada kesalahpahaman lagi, dari awal saya sampaikan bahwa saya ingin menyewa dan tidak mau diajak mampir2 dulu. Dia oke dan minta harga sewa 200 baht per jam. Wah, ini mah mahal sekali. Tidak masuk dalam budget saya.
Dari dua pengalaman ini, mungkin baiknya saya tidak usah sewa, tapi tanya harga per perjalanan saja. Oleh karena itu pada tuk tuk yang ketiga saya hanya menanyakan berapa ongkos ke grand palace. Dia bilang 2oo baht. Saya bilang kami berenam sehingga butuh dua tuk tuk. Tidak perlu katanya, 6 orang juga muat. Hah, yang benar saja, masa bisa muat 6 orang. Selama ini saya pikir maksimum hanya 3 orang saja. Tapi dia terus meyakinkan saya dan menyuruh kami naik. Dan benar saja, ternyata muat 6 orang.
Ini sudah saya ceritakan dalam cerita saya terdahulu yg saya sebut sebagai keajaiban dunia nomor 8 yakni tuk tuk ternyata bisa membawa muatan 6 orang.
Sesampai grand palace, kami langsung mencari pintu masuk. Di sana ada petugas tentara yang menjaga. Setiap orang masuk dengan mengangkat paspor di atas kepala krn ada kamera di atas pintu gerbang yg akan mengambil gambar kita beserta paspor.
Kami sudah melewati penjagaan semuanya ketika saya sadari bahwa nadiyya masih tertahan di luar. Ternyata dia tdk membawa paspornya. Paspornya ketinggalan di hostel gara2 semalam sibuk mengurus penjualan on line. Dia bilang mau jualan produk souvenir thailand secara on line. Dalam proses itu dibutuhkan paspor sehingga dia mengambil paspornya dari kantong paspor (semua paspor saya simpan di kantong tsb supaya tdk ada yg hilang/tercecer). Ternyata kemudian dia lupa menyimpan di kantong lagi.
Dengan muka memelas dan setengah berlinang air mata dia bilang ke tentara yg memeriksa, my paspor left in hostel. Please, may ì go in. Your famìly?, sì petugas bertanya sambil menunjuk ke arah kami yg sdh berada di dalam. Nadiyya mengangguk dan iapun diperbolehkan masuk. Sesampai di dalam kakaknya menggodain, tuh nangis tuh. Akhirnya air matanyapun benar2 jatuh.
Walau thai negara bebas, tapi khusus masuk grand palace dan berbagai wat, semua pengunjung diwajibkan memakai pakain sopan. Bahkan di hostel dipajang contoh pakaian yg tidak boleh dan yg boleh dikenakan saat masuk grand palace. Tahu sendirikan pakaian turis bule seperti apa. Artinya mereka tdk akan diijinkan masuk. Terus bagaimana? Ternyata ini bisa jadi bisnis tersendiri. Ada kios di seberang grand palace yg menawarkan rental baju utk bisa masuk. Ada juga yang dari awal sdh mengantongi kain di tasnya. Pas mau masuk, kain diselempangkan di badan dan disarungkan di kaki.
Dari grand palace setelah melewati wat pho tempat sleeping budha bersemayam, kami mau menuju ke wat arun di seberang chao praya. Di pinggir sungai ada kios2 yg menjual cendera mata dan kios buah yg menyediakan mango with sticky rice. Kami segera menyerbunya dan menikmati makan mangga dengan ketan, nanas, semangka dan kelapa muda. Sambil makan, saya tanya ke nadiyya, berapa harga tiket menyeberang. Katanya 350 baht. Waduh, mahal sekali. Kalau dikali 6 orang jadi berapa tuh. Kalau gitu kita tdk usah ke sana, lihat dari sini saja.
Iseng2 saya mendekati loket tiket utk melihat2. Tertulis tiket 3.50 baht. Saya perhatikan orang lain bayar berapa, ternyata benar bayar 3.50 baht. Yaaah nadiyya hanan izzati, itu 3.50 baht, bukan 350 baht. Rupanya dia tdk familiar dg koma2 karena selama ini kalau belanja selalu tanpa koma, 10, 20, 50, 100, 150 baht dll, pokoknya tanpa koma. Jadi dia pikir itu adalah 350 baht.
Naik perahu menyeberangi sungai chao praya yang lebar itu tentu saja memberikan sensasi tersendiri. Berbagai perahu dan boat bermacam ukuran melintas mondar mandir. Bangunan2 sepanjang pinggir sungai dan gedung2 pencakar langit agak di kejauhan menjadi back ground yang memanjakan mata. Secara suasana ini sama dan mengingatkan saya saat menyusuri sungai seine di paris dan sungai danube di budapest. Adapun sungai vltava di praha hanya saya nikmati dari atas jembatan charles bridge yg menjadi icon praha itu.
Selama di thailand, sholat zuhur dan ashar masih sempat kami lakukan di hostel. Tapi kali ini tdk akan sempat karena kami akan pulang malam karena akan ke night market khao san road dulu. Jadi kami putuskan sholat di wat arun saja. Kebetulan ada semacam tempat duduk2 yg bersih di sana sehingga bisa digunakan. Kata shafa yang tdk sholat krn berhalangan, ada turis yg memfoto kami saat sholat tadi.
Bicara soal sholat, saya pernah sholat di emperan stasiun kereta di jerman. Walau sdh mencari lokasi yg jarang dilewati orang, tapi ada juga orang yg lewat. Saat sholat sekilas terdengar orang lewat sambil berkata ke temannya, itu ada orang yahudi sedang beribadah. Soalnya saya mendengar kata2 pray dan jew.
Di wat arun ada momen biksu yg sedang memberkati turis. Biksu itu memercikkan air dg sapu kecil ke kepala turis. Turisnya sendiri menunduk sambil berlutut dg khidmat.
Sementara itu cuaca mulai mendung. Kami balik lagi ke tha tian, tempat penyeberangan pertama. Tidak lama setelah menyeberang, hujanpun turun dg derasnya. Kami berteduh di tempat tunggu di depan kios buah tadi. Sambil menunggu hujan reda, kami kembali menikmati mango with sticky rice. Hehehe, makan mangga dengan ketan yg tadinya terasa aneh malah sekarang menimbulkan addictive. Pingin makan lagi dan makan lagi.