Apakah kebab itu enak? Enak, tapi di perut saya enaknya hanya untuk dua tiga kali saja. Kalau sudah yang ketiga ke atas, akhirnya eneg juga. Sama seperti waktu datang ke Bandung pertama kali puluhan tahun yang lalu. Waktu itu makan masakan sunda di kantin Gratia di Sekeloa. Wah ini enak nih dan murah lagi. Tiga ratus rupiah sudah dapat lauk komplit dibanding rumah makan padang yang lima ratus rupiah. Dalam hati saya berpikir, wah bakalan hemat banyak nih jika tiap hari makan di kantin Gratia daripada makan di rumah makan padang.
Hari pertama nikmat sekali makan dengan lauk sate yg manis di Gratia. Hari kedua masih mantap. Hari ketiga perut mulai terasa lain. Hari keempat kok agak eneg kalau lihat lauk sate yang manis. Hari kelima sudah susah untuk menelan. Hari keenam sudah balik ke rumah makan padang lagi, begitu juga hari ketujuh dan hari-hari selanjutnya.
Kenapa saya jadi cerita makanan lagi. Soalnya tadi malam kami dijamu makan malam ama teh Nia di rumahnya di Wina. Teh Nia ini kakak kelas saya waktu kuliah di ITB dulu. Ternyata dia mengikuti pergerakan saya sejak di Paris, Granada, Cordova, Helsinki, Estonia dan Budapest. Dia lihat kok semakin mendekat ke Wina. Jadi pas saya di Budapest dia kirim pesan di FB, ayo mampir ke Wina, tinggal sepelemparan batu saja katanya. Lha kok pas banget, Winakan termasuk kota tujuan saya. Hanya saja saya gak tahu kalau teh Nia tinggal di sana.
Kami dijemput di pension pake mobil mereka dan saya kenalan dengan suaminya, namanya Arya.
Dia kerja di Opec Fund for International Development (OFID) baru dua tahun. Tentu saja saya bertanya sebelumnya di mana. Katanya di Kompas, BBC dan Unesco. Begitu disebut Kompas dan BBC saya langsung curiga, ini pasti Arya Gunawan wartawan Kompas yang saya sukai selain Satrio Arismunandar. Terakhir di Kompas Arya Gunawan selalu meliput festival film Cannes. Dan ternyata benar Arya Gunawan, what a narrow word (dalam bahasa kita betapa sempitnya dunia kalau bertemu orang yang tidak disangka-sangka). Saya sampaikan kalau saya kenal banget dengan Arya Gunawan via tulisan-tulisannya di Kompas.
Tambahan info lagi, Arya Gunawan adalah Kimia ITB angkatan 82, satu kelas dengan Fajrul Rahman, aktivis yang sekarang komisaris Adhi Karya dan bu Temmy yg di Jababeka. Adiknya Arya Gunawan yakni Teguh Satyawan Usis yang mantan wartawan Forum Keadilan dan pembawa acara Kupas Tuntas di Trans TV adalah adik kelas saya di TL ITB.
Singkat cerita kami sampai di rumah teh Nia dan uda Arya (katanya lahir di Jambi tapi sebenarnya berdarah Minang) di bagian agak utara Wina. Saling cerita sangat asik karena saya tidak pernah ketemu teh Nia lagi sejak 1990, artinya sudah 25 tahun. Ngobrol dengan uda Arya juga sangat nyambung karena dunia kewartawanan dan tulis menulis adalah passion saya, cuma gak kesampean aja untuk jadi penulis.
Makan malam yang disajikan begitu enaknya setelah beberapa hari ini hanya makan kebab saja. Ada terong dan udang balado yang luar biasa lezat. Saya sudah niat dalam hati nanti bakal nambah (walau nanti bakal diomeli istri, malu-maluin saja katanya). Nasi sepiring cepat sekali tandasnya. Untuk nutupin malu karena mau nambah, lebih baik ngomong terus terang aja ke teh Nia, ini enak banget dan saya mau nambah. Kan gak mungkin teh Nia jawab, jangan Mir.
Saya jadi berani malu karena pertama masakannya memang enak banget, kedua karena saya memang lapar, ketiga karena sepanjang hari ini belum ketemu nasi dan keempat punya asumsi bahwa tuan rumah pasti senang kalau tamunya mau banyak makan sebagaimana saya senang kalau ada orang yang makan di rumah saya dengan lahap.
Habis makan kami foto bersama. Teh Nia menawarkan terong dan udang baladonya dibungkus. Wah, mau banget kata saya masih dalam posisi pasukan berani malu. Ikannya juga tanya teh Nia. Makasih teh, ini sdh cukup, nanti malah gak habis. Jadi saya gak kelihatan sangat rakus kan. Tapi sebenarnya karena yang paling enak ya terong dan udang balado tadi.