Hari ini saya meninggalkan Wina Austria menuju Praha Ceko. Ada tiga pilihan moda, pesawat, kereta atau bus. Jelas sekali saya tidak akan mengecek harga tiket pesawat. Saya hanya cek tiket kereta, ternyata 61 euro (1.006.000 rupiah). Kalau bus hanya 17,5 euro (288.000 rupiah). Terus saya pilih apa. Tentu saja tidak perlu lagi ditanya dan tidak perlu juga dijawab.
Jadual bus jam 13.00. Saya sampai di terminal jam 11.45, langsung beli tiket di tempat. Jika beli tiket kereta di Budapest kemarin tidak dimintain paspor, maka di sini mereka minta paspor. Terminal busnya sendiri gak kayak terminal bus di kita. Bersih, ada ruang tunggu dan pakai sistem cek in segala seperti masuk pesawat di bandara.
Saya belum makan siang. Karena masih ada waktu yang panjang, saya cari kebab dulu untuk nanti makan di bus. Di sekitar sana tidak ada warung kebab. Adanya agak jauh juga, sekitar 300 meter. Tapi karena itu adalah harapan satu-satunya untuk dapat makan siang maka saya jabanin juga. Boarding jam 12.450, sayapun antri sambil menenteng kebab. Eh, ama sopirnya gak boleh dibawa masuk, bus bukan restoran katanya. Kalau mau habiskan dulu di bawah, baru boleh masuk. Lah iya, yang bilang bus restoran siapa. Pesawat dan kereta api juga bukan restoran, tapi penumpang bebas makan dan minum. Tapi saya gak mau mendebat dia. Kali aja emang di bus dilarang makan kayak di metro dan trem juga dilarang makan dan minum. Jadilah kebabnya saya habiskan dulu, baru naik ke bus.
Busnya nyaman banget, apalagi ada wifinya. Jalannya juga bagus sehingga perjalanan sungguh menyenangkan. Singkat cerita bus sampai di Praha jam 17 sore, lebih lambat satu jam dari jadual seharusnya. Memasuki kota Praha jalanan macet, mungkin waktunya pulang kerja. Saya lihat di google traffic memang bewarna merah tua di hampir semua jalan. Itulah enaknya ada wifi. Di bus saya bisa akses Whatsapp, Facebook dan Google Map. Dari google map saya bisa lihat lokasi penginapan, Prague AppArt, Soukenicka 7, Prague. Tapi saya tidak tahu bus berhenti di terminal mana dan berapa jauh dari Soukenicka. Saya mengikuti terus pergerakan bus di google map dan syukurlah, ternyata mengarah ke Praha 1, region yang saya tuju. Saya beruntung karena setelah bus sampai di terminal, ternyata sungguh tidak jauh dari Soukenicka.
Tantangan berikutnya adalah bagaimana mencari rute kendaraan umum yang menuju ke sana (ingat saya back packer yang gak mampu naik taksi). Langkah pertama saya harus menukar uang euro dengan kron Ceko dengan kurs 1 euro sama dengan 26 kron. Langkah kedua tanya di mana halte trem dan halte terdekat ke Soukenicka sekaligus beli tiket trem seharga 24 kron. Katanya naik trem no 8 dan turun di Dlouha Trida, 3 halte dari lokasi sekarang, Florenc. Saya terpaksa banyak bertanya karena tidak punya peta Praha. Biasanya peta suatu kota saya dapatkan di airport saat kedatangan. Tapi karena saya datang naik bus, tentu saja saya gak punya peta Praha. Hanya bermodal google map saja di hape.
Dari terminal bus ke halte Florence harus naik turun tangga dan jalan sekitar 250m. Di tengah hujan rintik-rintik dan membawa koper 20kg lebih serta ransel berat di punggung, ini bukanlah perjalanan mudah. Apalagi tidak ada eskalator saat turun tangga dan pedestriannya tidak rata karena bukan beton tapi tersusun dari batu alam. Singkat cerita saya dan istri naik trem dengan susah payah menggotong koper karena lantai trem jauh lebih tinggi dari platform halte (beda dengan metro yang lantainya sejajar platform). Turun di halte tujuan masih ada tantangan baru yakni menemukan Soukenicka no 7. Setelah jalan sekitar 100m, ketemulah no 6 dan sebelahnya no 8. Berarti no 7 di seberang jalan dong. Saya lihat ke seberang, ternyata restoran. Tidak ada tanda-tanda yang menunjukkan adanya apartemen. Waduh, saya mulai was-was, jangan-jangan salah alamat. Apalagi waktu searching di googlesaat di bus ternyata ada banyak nama Soukenicka. Tapi di google juga saya sudah masuk ke web booking.com dan katanya di lokasi sini. Tapi kok restoran. Mana hari sudah gelap dan hujan masih rintik2.
Sedikit out of the topic, kehujanan di jalanan eropa adalah sebuah penderitaan. Kita tidak dapat berteduh di mana-mana karena tahu sendiri, seluruh bangunan di Eropa atapnya pas di dinding, tidak ada bagian yang menjorok keluar yang bisa sedikit melindungi kita dari hujan jika berjalan di selasar gedung. Berdiri di selasar gedung sama saja dengan berdiri di jalan raya, tidak terlindung sedikitpun dari hujan.
Kembali ke soal no 7, akhirnya saya samperin juga ke seberang jalan untuk melihat lebih dekat. Ternyata di samping restoran ada pintu kayu. Di samping pintu ada aneka nomor tombol bel. Ternyata di sana tertulis Prague AppArt tombol no 2. Ya ampun, masa sebuah penginapan hanya ditandai dengan nama kecil di samping bel. Tidak ada plang nama sama sekali. Gimana orang tahu kalau di sini ada penginapan.
Saya tekan bel pada tombol no 2, pintupun terbuka tapi tidak ada orang sama sekali. Sayapun melangkah masuk. Ternyata di balik pintu ada area terbuka dan di sebarangnya apartemen yang dicari. Penjaganya sudah menunggu kedatangan saya. Sayapun cek in, langsung bayar 80 euro (1.320.000 rupiah) untuk dua dua malam plus service charge 10 euro (165.000 rupiah). Selanjutnya ini saya namakan sebagai apartemen Praha 40 euro. Fasilitasnya jauh di bawah apartemen Budapest 35 euro. Lebih mahal, tapi lebih tidak bagus. Tapi bagi saya tetap nyaman karena tidak pernah punya ekspektasi tinggi. Selalu tahu diri karena waktu booking kan saya selalu memilih the cheapest one di setiap kota.