Bradley Effect dan Emergency Exit

Saya memperhatikan para lembaga survey yg bicara tentang bradley effect. Mereka bicara dan merujuk pada fenomena hasil pilpres amerika yg tdk sesuai hasil survey. Saat itu semua lembaga survey menjagokan hillary sebagai pemenang namun ternyata yg menang adalah trump. Lalu muncullah analisis bradley effect di sana.

Secara sederhana bradley effect adalah fenomena saat responden tdk menjawab dg sebenarnya atau lebih parah lagi menjawab sebaliknya. Ini terjadi saat seseorang merasa malu mengungkapkan pilihannya krn berlawanan dg pendapat mainstream atau kuatir dicap negatif.

Saat itu memilih trump dianggap sebagai aib dan tidak sesuai dg norma dan pandangan mainstream. Trump populer di kalangan kulit putih kelas rendah dan pedesaan namun tdk di kalangan terdidik dan perkotaan. Yg belakangan ini lebih condong pada hillary yg dianggap lebih baik utk masa depan amerika dan sejalan dg nilai2 amerika.

Dan itulah yg terjadi di amerika. Ternyata banyak orang yg menyembunyikan pilihannya kepada lembaga survey sehingga secara mengejutkan ternyata trumplah yg terpilih.

Sekarang para lembaga survey mencoba mengenalkan fenomena bradley effect di amerika ini ke publik indonesia. Dengan melihat track record lembaga survey selama ini dan di tengah2 ketidakpercayaan masyarakat indonesia kepada mereka, maka besar kemungkinan ini ada apa2nya.

Saya melihat ada upaya menggiring opini lagi yg dilakukan oleh lembaga survey yakni menyamakan lembaga survey amerika dg lembaga survey indonesia dan menyamakan kondisi amerika dgn indonesia. Ujung2nya adalah menjadikan bradley effect sebagai emergency exit bagi lembaga survey sekaligus ajang cuci tangan jika hasil pemilu berbeda jauh dg hasil survey mereka.

Marilah kita kita bedah dan analisis satu persatu kenapa saya sampai pada dugaan tersebut. Saya awali dengan menyorot track record lembaga survey.

1. Lembaga survey indonesia berbeda dg amerika. Di sini lembaga survey adalah sekaligus konsultan politik yg dibayar utk melakukan survey walau kebanyakan mereka tdk mengakui hal ini dan selalu mengatakan mereka independen. Selama mereka tdk transparan tentang sumber dana survey, maka nalar kita akan sulit menerima klaim independensi ini.

2. Lembaga survey indonesia dari awal berpretensi untuk menggiring opini publik. Ini sama dan sebangun dg yg dilakukan media main stream yg membuat framing sehingga opini publik diarahkan sesuai mau mereka. Ini tentu tidak lepas dari profesi mereka sebagai konsultan politik. Di indonesia lembaga survey adalah ajang yg bisa digunakan untuk mencari uang.

3. Track record deviasi hasil pemilu dg prediksi lembaga survey menunjukkan angka deviasi yg sdh tdk masuk nalar lagi saking demikian besarnya deviasi, apalagi jika dikaitkan dg ilmu statistik.

Contoh paling fenomenal adalah kasus pilkada jawa barat dan jawa tengah. Masa perolehan final suara sudrajat syaikhu dan sudirman ida lebih dari dua kali lipat hasil survey? Ini betul2 sudah merusak nama baik ilmu statistik. Apa artinya margin error yg mereka ungkapkan pada setiap pengumuman survey?

Saat itu emergency exit dan ajang cuci tangan yg digunakan adalah undecided voters. Dg enaknya mereka bilang peta kekuatan berubah tiga hari sebelum pemilihan oleh undecided voters ini dan ini tdk tertangkap dalam survey2 yg dilakukan.

Kenapa mereka tdk pakai bradley effect sebagai emergency exit? Apa karena blm tahu? Jelas mereka sdh tahu namun bradley effect kurang cocok utk saat itu. Sulit membodohi publik dg bradley effect krn adanya prasyarat faktor yg membuat orang malu melawan main stream dan malu memilih kandidat seperti trump. Lembaga survey sulit mendapatkan justifikasi hal yg membuat malu jika orang memilih sudrajat syaikhu dan sudirman ida.

4. Track record lembaga survey juga selalu berat sebelah. Ada pihak yg selalu dikasih nilai tinggi dan ada yg selalu dikasih nilai rendah. Saya ambil contoh pks. Sejak awal berdirinya dan pada setiap menjelang pemilu, pks selalu diberi rentang 2-3% hasil survey. Tapi faktanya pks selalu dapat suara 7-8%. Bayangkan, ini adalah deviasi 200-400% yg dipersembahkan oleh lembaga survey. Mata kuliah statistik di perguruan tinggi manakah yg mengajarkan deviasi tdk masuk akal tsb? Apa artinya margin of error ilmu statistik? Sekali lagi ini benar2 melecehkan dan bahkan memperkosa ilmu statistik.

Berangkat dari track record di atas maka saya ingin menyampaikan:

1. Bicara tentang bradley effect maka sesungguhnya masyarakat indonesia lebih bradley daripada bradley. Masyarakat indonesia sangat menonjol ewuh pakewuhnya dan cenderung menghindari konflik. Apa yg di mulut belum tentu sesuai dg yg di hati. Masyarakat amerika yg liberal saja masih bisa menyembunyikan pilihannya yg tdk sesuai dg mainstream atau norma umum, apalagi masyarakat indonesia.

Jadi fenomena bradley effect adalah sesuatu yg inheren dg masyarakat indonesia. Bahkan itulah budaya indonesia. Sejak saat pertama kali survey2 digaungkan di indonesia, maka sejak itu pulalah bradley effect sudah berlaku di dalam aneka survey tersebut.

Karena itu sungguh tdk relevan jika sekarang lembaga survey memperkenalkan bradley effect kecuali memang ada maksud2 tersembunyi. Salah satunya adalah itu tadi. Menjadikannya sebagai emegency exit dan ajang cuci tangan jika hasil pemilu bertolak belakang dg hasil survey.

Saya menduga lembaga survey sudah mengira hasil pemilu yg sebenarnya. Sekarang yg mereka perlu lakukan adalah antisipasi utk menyelamatkan muka dgn metoda yg menurut mereka aman yakni bradley effect.

2. Lalu kenapa bradley effect tdk dijadikan emergency exit saat pilkada namun ada indikasi akan digunakan saat pilpres? Seperti yg sdh saya sebut di atas, bradley effect mensyaratkan adanya stigma negatif atau sesuatu yg tdk sesuai norma sehingga orang merasa malu dan merasa bersalah utk memilih seseorang. Faktor inilah yg tdk ada di pilkada.

Lalu bagaimana dg pilpres? Justru penggiringan opini telah berhasil menciptakan stigma negatif bagi salah satu pihak yg membuat orang merasa malu dan atau takut mengungkapkan pilihannya pada saat survey. Semua orang tentu tahu stigma negatif apa yg disematkan ke salah satu pihak selama ini. Saya rasa saya tidak perlu lagi mengungkapkannya di sini. You knowlah apa saja stigma2 itu.

Sejauh ini semua skenario di atas kelihatan sempurna. Semuanya kelihatan ilmiah. Semuanya menguntungkan lembaga survey. Jika pemenang pilpres sesuai survey maka mereka akan menepuk dada. Jika pemenang pilpres tidak sesuai survey maka mereka tinggal mengeluarkan kartu bradley.

Jadi siapapun pemenang pilpres maka sejatinya yg menang adalah lembaga survey. Itulah maunya mereka lembaga survey yakni menang dalam setiap keadaan. Sekarang berpulang ke publik, apakah masih mau dibodohi lembaga survey atau mau lebih pintar dari lembaga survey. Untuk info saja, saya pribadi memilih utk lebih pintar daripada lembaga survey

Artikel Terkait