Ada itinerary baru yang muncul tiba-tiba saat kami sudah akan meninggalkan Turki yakni mampir ke Abu Dhabi saat transit di Dubai. Secara teknis sangat memungkinkan karena waktu transit hampir 24 jam.
Alasan kedua adalah aspek ekonomi karena hanya perlu tambahan 500.000 saja per orang untuk mencapai Abu Dhabi. Logikanya jika kita di Indonesia maka mana mungkin dengan 500.000 bisa berkunjung ke Abu Dhabi. Tapi di sini mumpung di Dubai maka 500.000 sudah cukup untuk sampai di Abu Dhabi.
Setelah menempuh penerbangan sekitar 4 jam dari Istanbul maka kami sampai di Dubai jam 5 pagi. Kami bersih-bersih badan dulu seadanya di rest room bandara sambil menunggu kendaraan rental datang.
Perjalanan darat Dubai – Abu Dhabi ditempuh dalam waktu 2 jam. Jam 9 kami sudah sampai di Madinat Zayed Shopping Center sebagai destinasi pertama. Namanya juga mal maka tidak ada yang bisa saya ceritakan di sini.
Destinasi kedua adalah Sheikh Zayed Grand Mosque. Ini adalah masjid ketiga terbesar di dunia setelah masjidil Haram dan masjid Nabawi. Bangunannya megah sehingga menjadi salah satu tujuan wisata di Abu Dhabi.
Pintu masuk adalah berupa kubah sejarak sekitar 300-400 m dari bangunan masjid. Begitu masuk kubah ada escalator ke bawah. Ternyata di bangunan di bawah tanah ini selain akses menuju masjid juga menjadi area komersial. Ada banyak toko-toko di sana.
Selain bangunan yang memang megah tersebut maka saya ada dua komentar mengenai tempat ini. Pertama adalah adanya pemeriksaan X Ray seperti di bandara sebelum masuk area masjid. Rasanya ini terlalu berlebihan. Masa hanya untuk sekedar wisata ke masjid saja sampai perlu pemeriksaan X Ray seperti di bandara segala.
Komentar kedua adalah penamaan mosque terhadap masjid tersebut. Sebutan mosque mengandung konotasi merendahkan dan melecehkan walaupun istilah itu benar. Sama seperti istilah negro yang juga benar karena artinya memang hitam. Tapi konotasinya adalah merendahkan dan melecehkan. Karena itu orang hitam di Amerika menyebut dirinya black people bukan negro.
Muslim di barat juga merasakan hal yang sama terhadap istilah mosque. Mereka menamakan masjid di Amerika sebagai masjid bukan mosque. Saya menyaksikan sendiri selama sebulan keliling Amerika belum lama ini bahwa semua masjid yang saya temui selalu menulis masjid bukan mosque.
Diksi moslem juga berkonotasi merendahkan dan melecehkan. Karena itu muslim di barat selalu menyebut identitas mereka sebagai muslim bukan moslem. Tapi sayangnya saat di barat muncul kesadaran mengganti moslem menjadi muslim malah di negeri kita masih menyebut moslem sebagai padanan bahasa Inggris untuk muslim.
Konotasi merendahkan dan melecehkan ini mungkin bisa kita bandingkan dengan sebutan Indon terhadap orang Indonesia oleh orang Malaysia. Walaupun secara singkatan ini benar tapi tetap saja kita merasa terhina jika disebut Indon oleh orang Malaysia.
Sama seperti ilustrasi Indon di atas maka itu jugalah yang dirasakan muslim di barat jika disebutkan ke mereka mosque dan moslem. Karena itu aneh sekali. Saat muslim di barat mengganti sebutan mosque menjadi masjid malah kok di Abu Dhabi mereka melestarikan mosque.
Destinasi ketiga adalah Ferrari World. Ini adalah semacam wahana mainan seperti halnya Dufan di Jakarta, Pulau Sentosa di Singapura dan Genting Highland di Malaysia. Atraksi utamnya adalah roller coaster yang katanya paling cepat di dunia.
Selain tiga destinasi di atas maka kesan umum yang saya dapatkan tentang Abu Dhabi adalah panasnya yang sangat menyengat. Padahal ini masih bulan Maret apalagi nanti bulan Juni Juli saat puncak-puncaknya musim panas.
Sekitar jam 13 kami sudah menyelesaikan kunjungan di Abu Dhabi. Kami kembali ke Dubai dengan kendaraan yang sama untuk destinasi safari desert.
Bersambung