Akhirnya saya bisa juga menjejakkan kaki di benua Afrika. Bus kami menyeberangi Terusan Suez yang menjadi pemisah benua Asia dan Afrika pada siang hari ini.
Ada tiga media penyeberangan Terusan Suez yakni jembatan, ferry dan terowongan. Bus kami menggunakan yang ketiga yakni terowongan. Saya sendiri sebenarnya prefer melewati jembatan atau pakai ferry karena kita bisa melihat terusan itu sendiri. Sementara dengan terowongan maka kita tidak bisa melihat apa-apa.
Saya bertanya ke tour guide kenapa kita tidak melewati jembatan saja. Ternyata jembatan berlokasi di Ismailiyah di bagian utara terusan Suez. Sedangkan terowongan berlokasi di bagian selatan di mana kami datang dari selatan. Karena itulah itu makanya bus menggunakan terowongan dan bukan jembatan.
Kota Cairo menyambut kami dengan dinner di atas cruise yang menyusuri sungai Nil. Pengalaman ini tidak lagi begitu menarik bagi saya karena saya sudah pernah merasakan cruise yang melayari sungai Chao Praya di Bangkok, sungai Seine di Paris, sungai Danube di Budapest, Main Canal di Venesia dan selat Bosphorus di Istanbul. Say to sorry untuk mengatakan bahwa experience sungai Nil masih kalah dengan sungai-sungai yang saya sebut di atas.
Sebaliknya pengalaman menginap di Nile Grand Tower – Grand Hyatt menjadi istimewa bagi saya karena lokasinya benar-benar di pinggir sungai Nil. Istimewanya lagi seluruh kamar hotel menghadap ke sungai Nil. Duduk di beranda kamar sambil memandang sungai Nil dan kota Cairo adalah pengalaman baru yang menyenangkan. Apalagi ini hotel bintang lima.
Sebagai traveler mandiri yang selalu melakukan traveling backpakcer bersama istri maka saya jarang sekali menginap di hotel apalagi bintang lima. Paling banter kami hanya menginap di hostel dan paling sering adalah apartemen. Menginap di hotel bintang lima hanya karena kali ini kami traveling bersama travel biro.
Destinasi utama di Cairo apalagi kalau bukan piramid dan patung Sphinx di Giza. Seperti biasa saya sangat excited dengan semua objek menarik apalagi yang termasuk tujuh keajaiban dunia seperti piramid ini. Tapi itulah dilemanya traveling dengan travel biro. Seperti yang sering saya ulas maka kita sangat tidak leluasa karena adanya pembatasan waktu yang ketat.
Jika bepergian sendiri maka saya akan menghabiskan waktu berjam-jam di sini. Kebiasaan saya adalah membiarkan fantasi yang mengalir ke mana-mana terhadap sebuah objek. Saya akan membayangkan bagaimana budak-budak bekerja menyusun batu demi batu. Saya akan mengusap-usap batu dan menghitung dimensinya. Saya akan mengelilingi dan naik ke atasnya. Saya akan masuk dan mengeksplor setiap bagiannya. Tapi itu semua tentu saja tidak bisa dilakukan karena kami hanya diberi waktu sekitar satu jam saja di sana.
Piramid itu memang besar dan tinggi sekali. Ukuran sepotong batunya saja melebihi tinggi bahu saya atau sekitar 160 cm. Nah bagaimana caranya mereka menumpuk batu- batu itu sampai ke puncak piramid yang setinggi itu.
Nama firaun bukanlah nama seorang individu. Itu adalah sebutan untuk raja-raja Mesir Kuno. Adapun piramid itu sendiri adalah kuburan para firaun tersebut. Menurut tour guide setiap firaun akan langsung membangun piramid-piramid mereka sendiri begitu diangkat menjadi raja. Masalahnya untuk membangun sebuah piramid bisa membutuhkan waktu 20 tahun. Mereka perlu memastikan bahwa kuburannya itu sudah selasai saat di mati nanti.
Para firaun percaya dengan kehidupan abadi setelah mati. Mereka menyiapkan kuburan melebihi menyiapkan istana. Kualitas kuburan jauh melebihi kualitas istana. Karena itu tidak heran jika yang kita lihat sekarang dan yang tersisa adalah kuburan firaun bukan istananya. Kita tidak pernah mendengar apalagi melihat istana firaun. Yang kita dengar dan lihat hanyalah kuburannya.
Destinasi kedua adalah National Museum of Egyptian Civilization. Di sini tersimpan mumi para firaun dan istrinya. Yang paling terkenal tentu saja Ramses 2, firaun yang membunuh semua anak-anak laki-laki yahudi tapi justru mengadopsi nabi Musa saat masih bayi. Ini adalah firaun yang tenggelam di laut merah saat mengejar Musa. Jasadnya ditemukan, diselamatkan dan diawetkan sehingga masih utuh hingga saat ini.
Jasadnya terbaring tertelentang dan terbungkus kain. Hanya tinggal kulit pembalut tulang saja. Saya berusaha membayangkan bagaimana rupa Firaun saya dia masih hidup dengan segala kekuatan dan kekejamannya.
Destinasi lain yang menarik perhatian saya adalah pembuatan kertas dari tanaman papirus. Ini adalah tanaman air yang batangnya berserat seperti batang tebu tapi bentuk batangnya segitiga dan lebih kecil dari tebu.
Pertama kulitnya dikupas sehingga tinggal daging batang saja. Lalu daging batang ini dibelah tipis sehingga didapatlah lembaran-lembaran selebar kira-kira 2-3 cm. Lembaran ini dipress menjadi tipis sekali dan direndam di dalam air selama beberapa hari untuk menghilangkan kadar gula di lembaran tersebut.
Setelah itu lembaran demi lembaran disambung-sambungkan secara overlap saat masih basah tanpa perlu lem. Secara alami lembaran itu sudah mengandung lem alami yang sangat kuat. Akhirnya didapatlah lembaran kertas yang panjang dan lebarnya dapat ditentukan sendiri sesuai jumlah lembaran yang disambung-sambungkan.
Lembaran besar ini tersusun secara horisontal. Untuk memperkuat maka disusun lagi lembaran tambahan secara vertikal. Jadi boleh dikatakan bahwa satu lembar kertas papirus terdiri dari dua lapis. Walaupun dua lapis namun kertas ini tetap tipis.
Yang mengagumkan adalah kertas ini anti air. Meski disiram air namun dia tidak basah dan jadi lembek seperti kertas yang kita kenal. Lebih hebat lagi dia tidak bocor jika dipakai sebagai wadah untuk menampung air.
Bahannya sangat kuat sampai-sampai tidak bisa dirobek dengan tangan. Bahannya juga sangat lentur sehingga selalu kembali ke bentuk semula walau sudah dilipat dan tidak meninggalkan bekas lipatan. Jadi bayangkan betapa luar biasanya kertas ini.
Di zaman Mesir Kuno kertas ini digunakan untuk menulis catatan riwayat hidup para firaun. Menurut kepercayaan mereka catatan ini diperlukan agar dewa surga membolehkan mereka masuk surga. Kelihatannya yang mengaku sebagai Tuhan hanya Firaun Ramses 2 saja. Adapun firaun-firaun yang lain masih percaya pada dewa-dewa yang akan menentukan nasib mereka di akhirat kelak.
Di zaman sekarang kertas papirus digunakan sebagai media untuk melukis karya seni. Para seniman pelukis melukis berbagai lukisan gambar-gambar Mesir kuno, kaligrafi dan gambar-gambar lain. Di antaranya ada yang dilukis menggunakan bahan cat khusus yang berpendar saat lampu dimatikan. Jadilah satu lukisan dengan dua gambar yang berbeda. Kita akan melihat sebuah lukisan saat lampu terang. Tapi saat lampu dimatikan maka muncul gambar lain yang berbeda dari lukisan yang sama karena cat bahan khusus tersebut berpendar sendiri dalam kegelapan saat tidak ada cahaya.