7. Tentang Ikhlas dan Mendzalimi
Posting saya terakhir saya nomor 6 tentang Solusi Kain Ihrom sedikit menimbulkan kontroversi. Ada yang menanggapi dari segi ikhlas dan mendzalimi. Bahwa yang saya lakukan merusak keikhlasan ibadah, menodai ibadah dan bahkan mendzalimi orang lain.
Mungkin uraian saya berikut ini akan dianggap mencari pembenaran. Tapi bagi saya adalah menguraikan fakta-fakta. Untuk penilaian akan kembali ke masing-masing orang karena dalam fikih akan selalu ada ruang untuk beda pendapat.
Fakta yang ada adalah bahwa jamaah yang memakai kain ihrom diberikan akses masuk Masjidil Haram. Saya memakai kain ihrom sehingga bisa masuk masjid. Secara fikih tidak ada yang saya langgar. Secara aturan juga tidak ada yang saya langgar.
Lalu ada penafsiran bahwa aturan ini dibuat agar jamaah umroh dapat thawaf di mathaf. Kalau saya ikut ke mathaf maka saya mendzalimi hak orang yang umroh memakai mathaf. Tapi saya tidak ke mathaf dan memang tidak ada niat ke sana sama sekali. Jadi saya yakin bahwa saya tidak mendzalimi siapapun.
Lalu bagaimana dengan keikhlasan dan menodai ibadah? Kalau paramater memakai kain ihrom dianggap tidak ikhlas dan menodai ibadah maka rasanya tidak ada seorang jamaahpun yang ikhlas dan semua menodai.
Dalam keadaan biasa maka kita ikhlas berbagi tempat ke orang lain. Tapi di Haram tidak mungkin berbagi tempat atau kita yang terlempar dari shaf sholat. Setiap orang pasti kukuh mempertahankan posisinya.
Lalu bagaimana dengan menodai ibadah. Jika memakai pakaian ihrom dikatakan menodai ibadah padahal tidak ada syariat yang dilanggar maka bagaimana denagan orang yang melintas di depan orang sholat.
“Andaikan seseorang yang lewat di depan orang yang shalat itu mengetahui dosanya perbuatan itu, niscaya diam berdiri selama 40 tahun itu lebih baik baginya dari pada lewat” (HR. Al Bukhari 510, Muslim 507)
Kalau berpegang pada kaidah fikih secara kaku maka jelas sekali berjalan di depan orang sholat adalah dosa. Dengan demikian semua jamaah umroh telah melakukan dosa. Karena di Masjidil Haram tidak memungkinkan kita untuk tidak melintas di depan orang sholat karena padatnya jamaah.
Menurut saya penerapan fikih tidak harus secara kaku dan saklek juga. Perlu juga melihat situasi dan kondisi. Misalnya kondisi di Masjidil Haram yang sedemikian padat sepadat-padatnya. Tidak selamanya kita bisa menerapkan fikih secara kaku.
Contoh lain adalah sentuhan kulit dengan perempuan yang membatalkan wudhu. Jika teguh berpegang pada fikih ini maka kita tidak akan mungkin menyelesaikan thawaf. Baru saja berjalan beberapa langkah sudah batal dan wudhu lagi. Jalan lagi beberapa langkah maka batal dan wudhu lagi. Sampai kapanpun kita tidak akan bisa menyelesaikan thawaf jika kaku begini.
Jika harus ikhlas dengan pengertian di atas maka kita harus memberikan tempat kita ke orang lain. Tidak boleh menodai ibadah maka kita tidak boleh melintasi orang sholat. Jika demikian niscaya kita tidak akan pernah bisa sholat dalam masjid ataupun di pelataran halaman masjid.
Kalau mau saklek berpegang pada pemahaman di atas maka jauh-jauh umroh hanya bisa sholat di emperan toko jauh dari masjidil Haram. Karena di emperan toko di dekat masjidil Harampun tetap akan melintasi orang sholat.
Pertanyaanya adakah orang yang sedemikian ikhlasnya jauh-jauh melakukan umroh hanya untuk sholat di emperan toko atau trotoar sejauh 3 km dari Masjidil Haram?
Bersambung