Catatan ini saya tulis di atas bus Meinfernbus Flixbus dalam perjalanan dari Berlin menuju Amsterdam. Sama dengan bus Euroline yang sebelumnya saya gunakan waktu perjalanan dari Wina ke Praha ke Praha ke Berlin, bus ini juga nyaman dan menyediakan wifi juga. Saya sengaja memilih tempat duduk paling depan agar leluasa melihat ke semua arah. Di bus euroline penumpang tidak bisa duduk di seat terdepan karena digunakan sebagai seat oleh sopir pengganti dan tempat reserved menaroh setumpuk koran dan majalah.
Jalan tol sepi, tapi sopir anteng saja dengan kecepatan stabil hanya 100 km/jam. Jadi dari tadi kami disalip terus oleh kendaraan lain. Saya perhatikan kaki kanan sopir tidak menginjak pedal gas. Kaki kirinya juga tidak menginjak apa-apa. Dia duduk saja seperti duduk di kursi santai di rumah, tapi saya lihat di speedometer jarum penunjuk stabil terus di angka 100. Saya menduga mungkin ada alat pengaturan yang bisa menstel kecepatan bus pada angka yang diinginkan (nantinya saya dapat info dari teman via Facebook bahwa sopir memasang mode auto pada kecepatan 100 km/jam namun mode itu akan berubah jadi manual begitu dia menginjak rem). Di panel depan sopir ada dua GPS, satu GPS hanya menunjukkan jalur jalan dan satu GPS lagi lengkap dengan petanya. Tangannya juga santai saja pegang setir. Boleh dikatakan tetap di jalur tengah tanpa pindah-pindah jalur. Jalur kanan digunakan oleh truk yang bergerak lebih lambat. Jalur kiri oleh mobil-mobil pribadi yang dari tadi menyalip terus.
Pemandangan kiri kanan agak membosankan bagi orang yang sudah biasa di Eropa karena hanya hutan atau ladang pertanian. Buktinya semua penumpang tidur semua. Tapi tentu saja tidak bagi saya yang selalu menikmati betul setiap momen di Eropa ini. Bagi saya semuanya tetap menarik dan mengesankan.
Di Bissendrof, sebuah daerah sebelum Osnabruck (nama-nama ini saya ketahui dari google map yang bisa saya akses di bus karena ada wifinya) atau 250 km sebelum Amsterdam (kalau ini saya ketahui karena ada rambu penunjuk arah), ada penggantian sopir. Lucunya sopir pengganti sudah menunggu di tempat istirahat. Dia datang dengan mobilnya sendiri lalu membawa bus ini dan mobilnya ditinggal di tempat istirahat. Sebaliknya sopir pertama ternyata juga punya mobil sendiri yang disimpan di tempat istirahat dan diapun pergi dengan mobilnya. Kalau dia balik ke Berlin lagi kan lucu karena jarak ke Berlin lebih jauh daripada ke Amsterdam karena kita sudah menempuh lebih dari setengah perjalanan. Karena penasaran sayapun bertanya kepada sopir pengganti, apakah temannya tadi balik ke Berlin. Sayang sopir pengganti tidak bisa bahasa Inggris, tapi ada penumpang di seberang gang sebelah saya yang bantu menerjemahkan ke sopir. Ternyata sopir pertama rumahnya dekat tempat istirahat tersebut dan sopir kedua juga tinggal dekat sana. O kalau begitu kloplah.