Judul di atas adalah hirarki job des yg dilakukan oleh lembaga survey. Dimulai dg survey saat belum kejadian dan dilanjutkan dg exit poll dan quick count saat sdh kejadian. Semuanya barbasis ilmu statistik yg tentu saja sdh teruji keobjektifannya. Sebagai sebuah metode ilmiah, semua di atas adalah sebuah metode bgmn mendapatkan gambaran seluruh populasi hanya dari sebagian kecil populasi. Tentu saja diperlukan syarat2 yg ketat agar sebagian kecil populasi tsb memang dapat mewakili seluruh populasi.
Syarat2 ketat tsb sdh dijabarkan dalam ilmu statistik antara lain jumlah sampel, distribusi sampel, metode sampling dan rambu2 teknis lainnya. Lalu akhirnua akan sampai pada munculnya makhluk yg disebut margin of error dan tingkat kepercayaan. Hasil akhir survey, exit poll dan quick count yg benar tentu tidak akan jauh dari hasil real sebenarnya.
Tapi sayangnya ada yg terlupakan atau tepatnya sengaja diabaikan dalam syarat ketat tsb yakni integritas lembaga dan ketidakberpihakan. Nah, dalam konteks indonesia justru hal yg sangat krusial ini yg bermasalah. Percuma saja semua kaidah ilmu statistik sdh dilakukan dg baik, tapi lembaga surveynya tdk punya integritas dan memihak.
Seharusnya hasil survey, exit poll dan quick count tdk berbeda dg hasil real krn mereka menggunakan metoda yg sama. Tapi kenapa hasil survey sering meleset bahkan 200 sampai 400% dari hasil akhir? Tapi kenapa hasil exit poll dan quick count selalu mendekati hasil real?
Nah, di sinilah permainan itu dijalankan. Sudah jadi rahasia umum bahwa lembaga2 survey itu sebenarnya melakukan penggiringan opini publik. Psikologi manusia adalah cenderung ikut yg menang. Lalu lembaga survey mempublikasikan hasil surveynya yg memenangkan salah satu pihak. Dalam saat yg sama menjatuhkan pihak pesaing.
Kita tentu masih track record deviasi hasil pemilu dg prediksi lembaga survey menunjukkan angka deviasi yg sdh tdk masuk nalar lagi saking demikian besarnya deviasi, apalagi jika dikaitkan dg ilmu statistik.
Contoh paling fenomenal adalah kasus pilkada jawa barat dan jawa tengah. Masa perolehan final suara sudrajat syaikhu dan sudirman ida lebih dari dua kali lipat hasil survey? Ini betul2 sudah merusak nama baik ilmu statistik. Apa artinya margin error yg mereka ungkapkan pada setiap pengumuman survey?
Track record lembaga survey lainnya adalah selalu berat sebelah. Ada pihak yg selalu dikasih nilai tinggi dan ada yg selalu dikasih nilai rendah. Saya ambil contoh pks. Sejak awal berdirinya dan pada setiap menjelang pemilu, pks selalu diberi rentang 2-3% hasil survey. Tapi faktanya pks selalu dapat suara 7-8%. Bayangkan, ini adalah deviasi 200-400% yg dipersembahkan oleh lembaga survey. Mata kuliah statistik di perguruan tinggi manakah yg mengajarkan deviasi tdk masuk akal tsb? Apa artinya margin of error ilmu statistik? Sekali lagi ini benar2 melecehkan dan bahkan memperkosa ilmu statistik.
Dengan penyimpangan hasil survey 200 – 400 % tsb, harusnya lembaga survey sdh bunuh diri saja rame2. Tapi boro2 bunuh diri, malah dg jumawanya mereka melakukan exit poll dan quick count.
Kenapa mereka berani hidup lagi dan bahkan berlaku jumawa lagi? Krn exit poll dan quick count adalah ajang utk cuci diri. Track record mereka memang selalu relatif akurat utk exit poll dan quick count. Apakah karena mereka insaf dan tobat? Tentu saja bukan. Exit poll dan quick count tdk lagi bisa digunakan utk menggiring opini dan mempengaruhi pemilih. Exit poll dan quick count adalah sesuatu yg sudah terjadi dan tdk bisa diubah lagi. Beda dg survey yg dilakukan saat belum terjadi. Penggiringan opini bisa dilakukan dg semena2 bahkan tanpa rasa malu sampai pada deviasi 200-400%.
Makanya inilah yg terjadi, survey dg deviasi tdk masuk akal dan exit poll dan quick count yg akurat.
Seperti yg sudah diuraikan di atas maka lazimnya hasil quick count selalu mendekati hasil real count. Dg demikian sangat keterlaluan jika kemudian hasil quick count ternyata melenceng jauh dari real count apalagi jika sampai bertolak belakang. Lalu apakah utk quick count kali ini akan tetap sesuai kelaziman yakni hasil yg mendekati real count? Hanya satu cara utk mengetahuinya yakni dg membandingkan dg hasil form c1 tps. Karena itu marilah kita tunggu hasil form c1 tps tsb.
Dengan uraian panjang lebar di atas maka sebaiknya ke depan harus ada aturan tegas terhadap lembaga survey ini antara lain:
1. Lembaga survey yg merangkap konsultan politik dilarang memaparkan hasil ke publik.
2. Lembaga survey dg hasil real akhir yg melenceng 10% dari survey, apalagi 200-400% seperti yg sdh terjadi selama ini harus dibubarkan. Bahkan jika sampai 100% deviasi harus dipidana krn sdh nyata2 mempublikasikan hoax.
Jika dua hal di atas tdk bisa dilakukan, maka lebih baik lembaga survey dilarang saja di indonesia.