4. Karakter itu bisa dibangun dari pembiasaan, dari praktik langsung, bukan hanya pengajaran. Kelemahan pendidikan kita adalah hanya penekanan pada pengajaran, bukan implementasi. Oleh karena itu sistem penilaian hanya pada aspek pembelajaran, bukan implementasi juga. Jika ada anak yg mejawab benar soal tentang membuang sampah di tempatnya, maka dia dapat nilai 100. Tapi apakah si anak benar2 pada praktiknya membuang sampah di tempatnya, tidak ada yg peduli.
Ada sebuah kisah. Seorang indonesia bertanya pada rekan bulenya. Kenapa di luar negeri warganya begitu tertib. Jawabnya karena konsep pendidikan mereka adalah being bukan knowing. Being artinya melakukan dan menjalankan. Knowing hanya mengetahui tanpa peduli apakah dilakukan atau tidak. Begitulah. Karena sistem pendidikan kita hanya menekankan pada knowing, maka semua orang tahu dilarang buang sampah di sungai dan jalan raya, menyebarang pada tempatnya, antri dalam segala sesuatu dan berbagai hal lainnya. Tapi itulah. Kita hanya sekedar knowing, bukan being.
Sdit Plus Cordova sedari awal sudah membangun sistem pendidikan being, bukan knowing. Sedari awal sdh mengusung konsep karakter sehingga disebut sekolah berkarakter. Hasilnya? Kisah di bawah ini mungkin bisa menggambarkan.
Saat perjalanan malam dari singapura ke kuala lumpur, bus berhenti di tempat peristirahatan jam 5 pagi utk mandi dan sholat subuh. Setelah itu mereka menuju food court utk sarapan. Gurunya hanya mengatakan, kita sarapan di sini sambil menunjuk salah satu kios di food court tsb. Saya yakin, jika itu rombongan lain yg berjumlh 65 orang, bahkan jika mereka orang dewasa, maka yg terjadi adalah semua akan bergerombol di depan kios tsb. Tapi tdk dg anak cordova. Tanpa diperintah dan diatur, secara otomatis mereka langsung membentuk antrian rapi. Dg tertib satu persatu mengambil makanannya dan membawa ke meja makan. Mengapa mereka tertib? Itulah buah pembiasaan di sekolah. Mereka sdh terbiasa antri di sekolah saat mau makan siang, saat mau wudhu, saat ke toilet dlsbnya. Mereka tahu, ngapain juga rebutan krn mereka yakin semua juga akan mendapatkan jatahnya. Tapi bagi masyarakat umum, antri bagi mereka hanyalah knowing, bukan being. Mereka masih suka dengan bergerombol, masih suka dg rebutan walau tahu mereka sebenarnya sdh tahu akan mendaptkan juga.
Kisah kedua adalah saat kunjungan edukasi ke museum geologi bandung. Kebetulan saat yg sama ada kunjungan dari rombongan smp lain. Kebetulan lagi mereka sama2 makan nasi kotak saat makan siang. Saat pembagian makanan, anak cordova seperti biasa antri tertib sementara rombongan smp itu mengerubuti guru yg membagi nasi. Lalu merekapun makan. Setelah makan, setiap anak cordova membereskan sisa2 makanan sehingga halaman tempat mereka makan kembali bersih. Namun bgmn dg rombongan smp? Sisa2 makanan dan botol bekas minuman berceceran di mana2. Lalu apakah anak smp itu tdk tahu agat tdk membuang sampah sembarangan? Mereka tahu, tapi itulah. Sistem pendidikan mereka hanya menjadikan mereka manusia knowing, bukan being.
Antri dengan tertib
Mengantri makanan