11. Contoh Penderitaan

Ada juga teman2 yang komen. Katanya kok semua postingan saya hanya berisikan penderitaan saja. Tapi memang begitulah adanya traveling backpacker kami. Seperti contoh hari ini di Chicago, kami kembali mengalami penderitaan transportasi.

Sekitar jam 16.30 hari sudah mulai gelap di Chicago Riverwalk saat kami memutuskan untuk kembali ke penginapan. Sayapun lalu cek google map untuk mencari halte bus terdekat.

Kami diarahkan ke halte Dearborn & Wacker/Lake. Jaraknya 15 menit jalan kaki. Dari sana naik bus no 22 dan turun di Clark & Arlington. Jadi kamipun ke sana dan menunggu kedatangan bus.

Saya sempat lihat ada pengumuman yang mengatakan ada peralihan rute karena ada kerusakan jalan. Saya mengasumsikan bahwa peralihan rute adalah setelah halte ini sehingga tetap menunggu bus. Apalagi ada beberapa orang yang menunggu di sana.

Tapi sudah 15 menit, lalu 30 menit, lalu 45 menit namun bus no 22 belum juga muncul. Sayapun jadi ragu sehingga bertanya pada seorang penumpang tentang perubahan rute tersebut dan menanyakan apakah bus no 22 akan berhenti di halte ini. Dia jawab tidak ada pengaruh dan bus no 22 tetap akan lewat.

Benar saja setelah menunggu satu jam akhirnya bus no 22 memang lewat.  Tapi ini benar2 lewat begitu saja tanpa berhenti sama sekali. Soalnya penumpangnya sudah penuh. Ternyata bus tidak berhenti di halte jika penumpang sudah penuh.

Sayapun berpaling pada istri. Kita sudah menunggu 1 jam dan tidak tahu kapan lagi bus akan datang. Tidak tahu juga apakah nanti busnya juga penuh sehingga tidak berhenti lagi.

Saya menawarkan 4 opsi pada istri yakni menunggu terus bus no 22, pindah halte ke bus no 136 dengan jarak sekitar 10-15 menit jalan kaki, pakai subway kereta bawah tanah namun jarak stasiunnya jauh atau pakai Uber dg biaya USD 38.

Paling gampang adalah panggil Uber. Tapi USD 38 itu sama dengan 600.000. Padahal jarak penginapan kami hanya sekitar 5 km saja. Tidak terbayang untuk ukuran Indonesia kita akan pakai Gocar atau Grabcar seharga 600.000 hanya untuk jarak 5 km. Tapi bagi Amerika memang segitu tarif transportasi on line.

Belum lagi semacam kewajiban kita mengasih tip paling tidak USD 3-5 dollar karena tip adalah budaya Amerika. Kita bisa dianggap tidak beradab jika tidak mengasih tip untuk transaksi apa saja. Aturan tidak tertulis mengatakan besaran tip adalah sekitar 15% atau lebih.

Taksi tidak saya masukkan dalam opsi karena jika dengan on line saja sudah kena 600.000 maka taksi pasti di atas itu.

Akhirnya kami memutuskan opsi kedua yakni pindah ke jalur bus no 136. Kami harus jalan kaki sekitar 15 menit untuk mencapai halte tersebut.

Penderitaan kami tidak hanya soal menunggu yang sudah membuang waktu kami lebih dari satu jam. Penderitaan lebih berat adalah menahan dingin di halte yang terbuka. Suhu udara 2⁰ C benar2 cukup menyiksa. Jari2 tangan saya sampai kaku walau sudah pakai sarung tangan. Dan kita terus menunggu tanpa bisa berbuat apa2.

Biasanya saya tidak pernah masalah dengan menunggu karena bisa sambil buka FB, baca WA dan membalas WA atau sambil menulis cerita traveling ini. Tapi semua itu tidak bisa dilakukan saat ini. Jari2 saya serasa membeku jika sarung tangan dilepas untuk main HP. Tangan dimasukkan ke dalam kantong jaket saja masih tidak bisa menahan dingin, apalagi dikeluarkan tanpa sarung tangan.

Entah kenapa saya sering mengalami sesuatu dalam sebuah traveling yang mengingatkan saya pada kejadian yang lain pada traveling yang lain pula. Misalnya saat melihat ranting2 pohon yang ditutupi salju dalam perjalanan naik kereta dari New York ke Chicago ini maka ingatan saya kembali pada perjalanan naik bus dari Beograd ke Sarajevo. Saat itu kami juga melihat pemandangan yang sama yakni ranting2 pohon yang ditutupi salju seperti mirip kristal.

Begitu juga sekarang ini. Menunggu di halte bus yang terbuka selama berjam2 di tengah udara dingin ini pernah saya alami juga di Beograd. Waktu itu kami sudah sampai di Beograd jam 06 pagi setelah sebelumnya berjalan malam dari Zagreb, Kroasia. Kami baru bisa titip koper atau sekalian cek in jika diizinkan pada jam 10 karena tamu sebelumnya masih di kamar tersebut. Jadilah kami menunggu berjam2 sampai jam 10.

Saat itu kami benar2 tidak ada pilihan lain selain menunggu di halte bus. Tidak ada mal atau kedai kopi atau apapun yang bisa dimasuki untuk berlindung dari dingin yang menggigit. Mau jalan2 juga tidak bisa karena bawaan koper yang banyak. Jadi benar2 hanya bisa menunggu dan menunggu saja.

Saya juga tidak bisa main HP atau menulis sebagai perintang waktu menunggu. Tangan selalu di dalam saku jaket untuk menahan dingin. Masalahnya jari2 terasa membeku jika tanya dikeluarkan dari saku untuk main HP saking dinginnya suhu udara.

 

 

Menunggu Bus di Chicago

Artikel Terkait